Kepulauan Bangka Belitung “Bumi Serumpun Sebalai”_ Edisi Mukadimah
3some travelers dan sepatusepatuyunis di Bumi Serumpun Sebalai. |
“Jangan menunggu! Tak ada waktu yang tepat untuk
memulai.
Mulailah dari titik dimana anda berdiri dan kemampuan
yang anda miliki.
Kemampuan yang lebih baik akan muncul dalam
perjalanan.”
--Napoleon Hill—
Pada akhir
bulan Mei hingga minggu pertama di bulan Juni lalu sepatusepatuyunis dan
3Some Travelers berkesempatan mengunjungi Kepulauan Bangka Belitung.
Selama 10 (sepuluh) hari –terhitung dari keberangkatan hingga pulang kembali ke
kota Palembang– memaksimalkan waktu mengeksplorasi kedua pulau tersebut. Rasanya
seperti lari maraton sambil dikejar deadline, karena
banyak tempat yang ingin dikunjungi, dan banyak hal yang ingin dipelajari.
Kenapa
disebut ‘edisi mukadimah’? sebab tulisan ini menjadi pengantar/pembuka dari
rangkaian destinasi wisata Kepulauan Bangka Belitung yang akan dikupas secara
berkala beberapa waktu ke depan. Sekilas tentang Kepulauan Bangka dan Belitung
akan dibahas di sini, sehingga di edisiedisi mendatang fokus hanya akan
membahas destinasi wisatanya saja.
Berbekal
daftar tempat yang ingin dikunjungi kami berangkat penuh semangat. Namun,
beberapa tempat ternyata sudah tidak ada, beberapa tempat telah direnovasi
mendapat wajah dan nama baru, juga bermunculan tempattempat baru yang tidak ada
dalam daftar untuk dikunjungi. Barangkali, tulisan ini beserta tempattempat
wisata yang kami kunjungi pada suatu waktu akan menjadi tidak relevan lagi.
Tapi jejak keberadaannya akan tertinggal dalam kenangan orangorang, berupa
dokumentasi dan tulisan.
Okeee… barengbareng kita belajar sejarah
(lagi) dan lebih mengenal Indonesia tercinta… ^o^
*
Sejarah
“Bumi Serumpun Sebalai”
Dilansir
dari laman serumpun.babelprov.go.id Kepulauan Bangka Belitung atau Bumi
Serumpun Sebalai merupakan provinsi yang terbentuk pada tahun 2000 dan
menjadi Provinsi ke 31 dalan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
ibukotanya Pangkalpinang. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua
pulau besar, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Ada juga pulaupulau kecil
lainnya. Pada zaman kerajaan, wilayah ini masuk dalam kekuasaan Sriwijaya,
Majapahit, dan Mataram.
Setelahnya,
Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris. Pada 10 Desember 1816,
dilaksanakan serah terima kepada pemerintah Belanda yang berlangsung di Muntok,
Bangka. Pada masa penjajah Belanda terjadi perlawanan yang dilakukan oleh
Depati Barin. Perlawanan kemudian dilanjutkan putranya, Depati Amir (diabadikan
menjadi nama bandar udara di Bangka) hingga berakhir dengan pengasingannya ke
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selama masa penjajahan, banyak kekayaan pulau ini
yang dirampas. Kendati demikian, Bangka Belitung mampu bertahan, termasuk
melakukan sejumlah perlawanan.
Dok pribadi - Peta pulau Bangka lama koleksi MTI Pangkalpinang, Bangka. |
Dok pribadi - Peta pulau Belitung lama koleksi MTI Pangkalpinang, Bangka. |
Penduduk
Pulau Bangka dan Pulau Belitung, semula dihuni orangorang suku laut, dalam
perjalanan sejarah yang panjang membentuk proses kulturisasi. Orangorang laut
tersebut berasal dari berbagai pulau. Orang laut dari Belitung misalnya, berlayar
dan menghuni pantaipantai di Malaka. Sementara mereka yang sudah berasimilasi
menyebar ke seluruh tanah semenanjung dan pulaupulau di Riau, kemudian kembali
dan menempati Pulau Bangka Belitung.
Mereka yang
tinggal di Riau, berlayar ke Bangka. Datang juga kelompokkelompok orang laut
dari Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Pada gelombang berikutnya, ketika mulai
dikenal adanya Suku Bugis, mereka datang dan menetap di Bangka, Belitung dan
Riau. Lalu datang orang dari Johor, Siantan Melayu, campuran Melayu-Cina, dan
juga asli Cina, berbaur dalam proses akulturasi dan kulturasi. Kemudian datang
orangorang Minangkabau, Jawa, Banjar, Kepulauan Bawean, Aceh dan beberapa suku
lain yang sudah lebih dulu melebur. Lalu jadilah suatu generasi baru; Orang
Melayu Bangka Belitung.
Bahasa yang
paling dominan digunakan di provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah Melayu,
kemudian dijadikan bahasa daerah. Seiring dengan keanekaragaman suku bangsa,
bahasa lain yang digunakan antara lain bahasa Mandarin dan Bahasa Jawa. Akulturasi
budaya yang dinamis membuat penduduk Bangka Belitung memeluk agama yang
berbedabeda pula.
Dok pribadi - Model penambangan timah di masa lampau, koleksi MTI Pangkalpinang, Bangka. |
Dok pribadi - Dua tempat ibadah berbeda dibangun bersisian memperlihatkan kerukunan umat beragama di Muntok, Bangka. Keharmonisan Bumi Serumpun Sebalai. |
Arti dan
Makna “Serumpun Sebalai”
Serumpun; menunjukan bahwa kekayaan alam dan
plularisme masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap merupakan keluarga
besar komunitas (Serumpun) yang memiliki perjuangan yang sama untuk
menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan perdamaian.
Sebalai; untuk mewujudkan perjuangan
tersebut, dengan budaya masyarakat melayu berkumpul, bermusyawarah, mufakat,
bekerjasama dan bersyukur bersamasama dalam semangat kekeluargaan (Sebalai)
merupakan wahana yang paling kuat untuk dilestarikan dan dikembangkan.
Nilainilai universal budaya ini juga dimiliki oleh beragam etnis yang hidup di
Bumi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Serumpun
Sebalai, merupakan
semboyan penegakan demokrasi melalui musyawarah dan mufakat. Mencerminkan
sebuah eksistensi masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan
kesadaran dan citacitanya untuk tetap menjadi keluarga besar yang dalam perjuangan
dan proses kehidupannya senantiasa mengutamakan dialog secara kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat serta bekerja sama dan senantiasa mensyukuri nikmat
Tuhan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Dok pribadi - Foto udara pulau Bangka 2022, terlihat kolongkolong bekas tambang timah. |
Bangka “Sepintu
Sedulang”
Terbentuknya
Kabupaten Bangka, dilihat dari sejarahnya melalui proses admistrasi panjang. Beberapa
kali berganti penguasa, mulai dari Pemerintahan Pusat di Batavia (Jakarta), Kolonial
Belanda, penjajahan Jepang (Nippon) bahkan sempat berganti nama “Bangka Biliton
Gunseibu”. Setelah Jepang ditaklukkan oleh Sekutu, diikuti dengan proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas inisiatif tokohtokoh Sumatera Selatan
dibentuklah Pemerintah Otonomi Sumatera Selatan dan pulau Bangka termasuk
didalamnya. Seiring waktu dan berbagai peristiwa, Bangka dan Belitung akhirnya memekarkan
diri menjadi satu provinsi.
Semboyan “Sepintu
Sedulang”, mencerminkan sifat gotong royong dalam kehidupan/kebudayaan
masyarakat Bangka.
(sumber:
Bangka.go.id)
Foto by Icky - Yunis Kartika di bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka. |
Bandar Udara
Depati Amir pada awalnya bernama Pelabuhan Udara Pangkalpinang yang dibangun
sejak penjajahan Jepang tahun 1942 sebagai pertahanan dari serangan tentara
Sekutu. Baru pada tahun 1999 namanya berubah menjadi Bandar Udara Depati Amir
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan. Nama Depati Amir diambil dari nama
pahlawan nasional yang merupakan putra asli daerah Bangka yang aktif melawan
penjajahan Belanda dan diasingkan ke Nusa Tenggara Timur.
Dok pribadi - Foto udara pulau Belitung 2022, terlihat kolongkolong bekas tambang timah. |
Belitung “Belitung
Kota Bertuah”
Balitong
atau Belitong adalah ejaan yang biasa dipakai penduduk setempat untuk menyebut
pulau Belitung. Pulau yang terletak di Laut Cina Selatan dengan pantaipantainya
yang indah, berpasir putih, air yang jernih dan gugusan batu granit yang
memesona. Pulau kecil penghasil timah yang kini dikenal juga dengan “Negeri
Laskar Pelangi”, berkat tetralogi novel “Laskar Pelangi” beserta filmnya yang
menggambarkan keindahan panorama alam pulau Belitung dan budaya masyarakat
setempat. Dengan moto “Belitung Kota Bertuah”, bermakna; bersih, elok,
ramah, tertib, ulet, aman dan harapan.
Foto by Icky - Yunis Kartika di Bandara Internasional H. AS. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, Belitung. |
Bandar udara
di Belitung dulunya bernama Buluh Tumbang, yang kemudian berganti nama menjadi H.
AS. Hanandjoeddin diambil dari nama seorang penerbang yang menjadi Bupati
Belitung dan dianggap memiliki peran dalam pengembangan kota. Seorang pencetus
gagasan agar Belitung lepas dari Provinsi Sumatera Selatan dan bergabung dengan
pulau Bangka menjadi provinsi mandiri. Ya, seperti dijelaskan di atas pada
awalnya Bangka dan Belitung merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Bangka dan
Belitung menjadi wilayah taklukan kerajaan Sriwijaya. Nama pulau Belitung
berasal dari nama seorang raja di Jawa Timur, yaitu Belitung Uttunggade dengan
sebutan nama lain; Rake Watakura Dyah Belitung, Rake Sri Isyawara Keshawesat
Ningga, Rake Tatakura Dyah Belitung, Sri Darmenodaya Mahasambu. Dalam cerita
turun termurun dikisahkan, awal mula pulau Belitung merupakan bagian dari pulau
Hindu Bali yang terbelah karena kutuk dewata. Belahannya hanyut dan tersangkut
pada tempatnya saat ini, makanya diberi nama “Bali Potong” atau disingkat
menjadi “Balitong”, dalam proses keseharian sebutannya menjadi “Belitung”.
(dari
berbagai sumber dan hasil wawancara)
*
Dok pribadi - katakata bijak orang Belitung, koleksi RM. Ujung Lintang, Gantong, Belitung |
Ritme
kehidupan yang dinamis menjadikan perubahan adalah kemungkinan tak terelakan,
sekecil apa pun perubahan itu. Tapi kita tidak perlu takut dengan
perubahanperubahan tersebut, karena sejatinya Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan
adaptasi luar biasa, kemampuan bertahan dan kemampuan untuk belajar. Bumi
Serumpun Sebalai juga telah mengingatkan kami arti sesungguhnya tentang
toleransi antar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Damai, tentram,
rukun, saling menghargai dan sikap saling peduli yang sangat besar adalah
senyatanya Indonesia dengan beragam corak.
Ada sebuah
pengalaman menyenangkan; ketika tengah asik mendokumentasikan kelenteng dan
jejalan di kota Pangkalpinang, kebetulan posisi kelenteng tersebut berada di
pinggir jalan dengan arus lalu lintas ramai padat, persis sejajar tiang lampu
merah dan zebra cross. Untuk mengambil foto dengan landscape yang
menggambarkan keseluruhan bangunan, harus menunggu APILL (alat pemberi isyarat
lampu lalu lintas) berwarna merah agar dapat menangkap gambar bangunan tanpa
terganggu laju kendaraan. Tepat ketika
APILL berwarna merah, sebuah mobil sedan berhenti lantas membuka kaca jendela
mobilnya. Nampak seperti sepasangan suami istri paruh baya etnis Tionghoa (Encim
– Apek?) tersenyum ramah dan melambaikan tangan ke arah kami, dengan
semangat berteriak menanyakan kami dari mana. Kaget dengan sapaan hangat dan
heboh tersebut, kami balas melambai dan balas berteriak menjawab tanpa
menurunkan masker. Adegan yang mencuri perhatian pengendara lain terutama
motor, kepala mereka bolakbalik ke arah kami dan ke arah mobil. Entah terdengar
jelas atau tidak, yang pasti mereka tampak gembira karena tawa ramah itu tak
hilang hingga kemudian APILL berwarna hijau dan mereka melambai pamit. Gaduh
lalu lintas tak mengalahkan kecerian singkat tersebut, justru menoreh hangat
dan menjadi penyemangat hari. Sungguh terharu.
Adegan
tersebut membuat kami berpikir dan menganalisa; alangkah indahnya kerukunan
antar etnis. Hal yang tak kami dapatkan lagi di pulau Jawa dan beberapa tempat
lainnya di Nusantara, benihbenih kebencian dan saling curiga ditabur serupa
garam oleh pihakpihak berkepentingan. Kita lupa, bahwa kita Indonesia, satu
Indonesia dengan segala perbedaan dan keindahannya. Jadi, jika di hati anda
tersirat pesimis dan cara pandang terhadap perbedaan SARA mulai terkikis,
datanglah ke Bumi Serumpun Sebalai. Anda akan takjub, seperti juga
kami!yk[]
Teruntuk
kawan baru di Bumi Serumpun Sebalai; Koko Rudy, Bro Tony dan Pak
Sugeng, terimakasih untuk keramahannya dan tak jemu menjawab setiap pertanyaan.
Foto by Icky - Belitung bersiap menyambut G20 bulan September mendatang. |
“Pada akhirnya hanya perjalanan panjang yang bisa
memahamkan
di posisi mana hadir kita. Apakah sekadar remah atau
senyata emas.”
--Dyah Prameswarie—
PS
: sila untuk menulis komentar, membagikan atau meninggalkan alamat web/blog-nya
untuk bertukar sapa dan saling mengunjungi.
0 comments:
Post a Comment