Jelajah Natuna Kepulauan Riau; Sebuah Pengabdian Untuk Negeri_ Edisi Leona

Dokumentasi pribadi dan Tim ekspedisi, Natuna, Kepulauan Riau

sementara hari Ini
jejak dini hari, dingin
terayun di lautmu
muntahan air dari atap langitmu
lalu lagu angin
menerpa,
menyapa,
mengucapkan salam “selamat datang”

sementara hari ini
waktu mengalun lambat
berat tertahan gelombang laut Cina selatan

napas kita sarat harap
daratan cepat tertangkap
perahu segera merapat

sementara hari ini
kita masih terperangkap
-menuju Subi, Agustus 2007


Kepulauan Natuna, 2007

Hari Selasa, 7 Agustus 2007. 18 (delapan belas) personil yang terdiri dari kumpulan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dengan niat pengabdian bertolak menuju Kepulauan Natuna. Penerbangan pukul 17.40 WIB dengan menggunakan pesawat Merpati, bertolak menuju Batam. Tepat pukul 20.00 waktu setempat, pesawat landing di bandara Hang Nadim. Tim penjemputan telah menunggu, mempersilahkan kami untuk beristirahat di kawasan Cendana, Batam.

Keesokan hari, pukul 11.30 waktu setempat, kami semua kembali menuju bandara Hang Nadim. Menunggu pesawat Riau Airlines pada penerbangan 13.55 membawa menuju Ranai, ibukota kepulauan Natuna. Disinilah petualangan dan kesabaran serta nyali diuji. Tepat pukul 15.00, pesawat mendarat. Deretan truk terlihat di sepanjang jalur jalan di luar bandara. Tidak ada penjemputan ekslusif dengan kendaraan ekslusif. Semua orang bergerak cepat. Kami pun bergerak cepat. Menggendong ranselransel yang beratnya luar biasa. Ranselransel yang dipenuhi amunisi untuk keperluan sosialisasi program pendidikan. Kami tidak pernah tahu bahwa medanmedan perjalanan yang tidak lazim akan mempengaruhi semangat pengabdian untuk beberapa waktu ke depan.

Dokumentasi Pribadi dan Tim Ekspedisi; Natuna, Kepulauan Riau


Truk yang kami tumpangi dari Ranai, menuju pelabuhan Penagih. Pelabuhan yang menghubungkan dengan tempattempat tujuan selanjutnya. Tujuan pertama adalah pulau Subi. Dengan menggunakan perahu besar bernama Perintis, gelombang ombak yang luar biasa dasyat memandu kami menuju Subi. Untuk sampai ke Subi, kami harus turun di tengah kegelapan dan lautan. Hanya dengan menggunakan pongpong atau perahu kecil pulau Subi bisa terjangkau.

Dokumentasi pribadi dan Tim Ekspedisi; perjuangan pelajar Natuna, Kepulauan Riau

Pulau Subi terbagi menjadi 5 (lima) desa; Meliah, Terayak, Pulau Panjang, Subi Kecil dan Subi Besar. Keempat desa ini disebut sebagai daratan Subi. Kesenian yang terkenal di Subi adalah Kampang, Hadroh, Zapin dan Pencak Silat. Terdapat pula cerita yang melegenda, yaitu Siti Balqis yang merupakan perempuan tercantik di Subi atau Tanah Merah. Cerita lainnya yang melegenda adalah Abdul Putih, seorang imam yang hidup di zaman bajak laut, dikeramatkan karena meninggal sebagai imam yang berdarah putih.

Dokumentasi pribadi dan Tim Ekspedisi, lautan Natuna, Kepulauan Riau

Tidak ada jadwal yang pasti. Transportasi bergantung pada kebaikan ombak dan kecerahan cuaca. Bisa jadi, jadwal yang telah direncakan molor hingga 1-2 hari. Jika gelombang pasang dan hujan turun dengan deras, maka dapat dipastikan tak ada satupun perahu sebagai satusatunya alat transportasi penghubung dari satu pulau ke pulau lainnya beroperasi. Jika begini, artinya semua rencana musti di jadwal ulang.

Dokemntasi pribadi; cantiknya pantai Sisi di Serasan, Natuna, Kepulauan Riau

Usai melaksanakan program pendidikan kesenian dan lainlainnya di Subi, tim bertolak menuju pulau Serasan. Setelah menunggu 2 (dua ) hari hingga badai mereda, akhirnya tim bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal kecil sewaan bernama pongpong tadi dengan harga 2 juta rupiah. Harga yang terbilang cukup mahal kala itu. Tidak banyak yang memiliki pongpong sewaan sehingga, kami sebagai pendatang tidak bisa melakukan pencarian untuk perbandingan harga yang sedikit lebih murah. Yang menyenangkan di pulau Serasan, setidaknya ada sebuah pantai cantik dengan pasir putih membentang. Bersih, tidak bising, penuh dengan penyupenyu penelur dan indah. Pantai Sisi. Menghabiskan hari usai melaksanakan program kerja, seperti menghabiskan waktu di pantai pribadi. Hanya 1-2 orang penduduk lokal, selebihnya, pantai milik kami.

Dokumentasi pribadi dan Tim Ekspedisi; warga Natuna, Kepulauan Riau, yang menunggu transportasi laut, 

Dengan jadwal yang ketat, 2 (dua) hari di pulau Serasan, tim melanjutkan perjalanan menuju pulau Letung dengan menggunakan kapal besar. Kali ini pulau yang akan kami singgahi adalah pulau yang dukup modern dibanding pulaupulau lain yang masuk dalam kepulauan Natuna.  Kabal besar bernama Bukit Raya ini bahkan bisa berlabuh langsung di Letung. Letung merupakan nama ibukota pulau ini, dengan kecamatannya Jemaja – Palmatak. Mata pencaharian masyarakatnya cukup beragam, selain perikanan, masyarakat juga memiliki perkebunana cengeh dan karet. Yang hebatnya lagi, di pulau ini anakanak sekolah mendapatkan paket bebas uang sekolah. Terdapat LSM dan pencinta alam. Hutanhutannya menyediakan kayukayu besar, dan terdapat di Jemaja serta Bunguran. Salah satu pantai kebanggaan yang menjadi tempat pariwisata adalah pantai Padang Melang, dengan hamparan pasir putih yang bersih serta udara yang yang bersih pula. Terhampar sepanjang 10 kilo meter.

Dokumentasi pribadi; suasana pasar apung pulau Tarempak, Natuna, kepulauan Riau

Hanya satu hari saja kegiatan di Letung. Esok harinya dengan menggunakan pongpong lagi, tim melanjutkan perjalanan menuju Palmatak. Kurang lebih 10 jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Payalaman, perjalanan ini lebih panjang dari seharusnya dikarenakan tim memutar menuju Tokong Nanas, Pulau Batu tempat sebuah mercusuar berada. Perjalanan kemudian diteruskan melalui jalan darat dengan menggunakan kendaraan mobil bak terbuka menuju Air Payang. Di pulaupulau yang kami singgahi program pendidikan terus berkelanjutan.

Dokumentasi pribadi; suasana kehidupan di pulau Tarempak, Natuna, Kepulauan Riau

Tempat terakhir dari program ini adalah Pulau Laut. Sebuah pulau yang terletak paling luar dari gugusan pulaupulau yang termasuk dalam kepulauan Riau. Pulau terjauh. Pulau yang diselimuti aura magis, dengan jumlah penduduk yang sangat minim dan hidup dibawah ratarata. Menuju Pulau Laut, rintangan seolah menjadi ucapan selamat datang. Hampir kami berpikir bahwa perjalanan menuju Pulau Laut merupakan perjalan terakhir dalam kehidupan. Bagaimana tidak? Gelombang air pasang menggulung perahu kecil kami. Tidak kurang dari 2 meter ombak mengayun perahu. Dalam kegelapan kami hanya bisa berpasrah. Barangkali in titik dari perjalanan kami, begitulah kami berpikir. Tapi Tuhan masih dalam rancangan yang baik dan manis, kami dibimbing dan dirahmati. Meski gulita, angin kencang, hujan deras dan gelombang pasang mendera, kami tiba di Pulau Laut dengan sambutan mentari yang berlimpah cahaya. Usai badai, serta merta kehangatan mentari tersibak dan merangkul kami dalam kehangatan. Ya, tidak ada badai yang tidak usai. Pun tidak ada pesta yang tak usai pula.

Dokumentasi pribadi; kemeriahan acara HUT RI 17 Agustus, Natuna, Kepulauan Riau

Perjalan menuju pulaupulau di Natuna, kepulauan Riau membawa kesenangan dan kepahitan tersendiri. Ada suka cita yang menggelora, pun ada nestapa yang membungkus. Kau tahu, usai perjalanan ini aku khususnya merasa sangat kecil.  Indonesia yang begitu luas, indah dan sentimentil telah menorehkan beragam rasa dari perjalanan kali ini. Aku tidak hanya dirahmati untuk mengunjungi tempattempat indah. Namun, rasarasanya aku dikutuk dengan rasa yang tak bisa kujelaskan. Kesedihan akan kesenjangan sosial. Kesedihan bahwa mereka belum mendapat fasilitas dan kesempatan yang sama dengan kita yang hidup dan tinggal di Jawa.

Dokumentasi pribadi dan Tim Ekspedisi; suasana kehidupan di Natuna, Kepulauan Riau

9 tahun berlalu, namun sebuah percakapan masih terus terngiang dalam otakku. Seolaholah obrolan ini baru saja terjadi kemarin malam...
            “Dik, titip aspirasi ya... “ ucap seorang guru.
            “Aspirasi apa pak?” tanyaku mendengarkan dengan sungguhsungguh.
         “Aspirasi untuk membangun pulau ini. Pulau yang merupakan bagian dari Indonesia. Adik tahu? Perjalanan panjang melintas lautlaut dengan perahu bergantiganti dan badai, kadang membuat kami lelah, hingga begitu sampai di ibukota kami lupa apa yang hendak kami sampaikan.” Tutur guru itu dengan lugu dan penuh harap.

Dokumentasi pribadi; Pulau Laut, pulau terjauh Indonesia, Natuna, Kepulauan Riau

Aku terpaku, tak bisa berkatakata. Indonesia-ku. Indonesia yang indah dan luas. 9 tahun berlalu, ketika kutanyakan apakah ada perubahan di sana pada guru itu, jawabnya; “Belum dik, masih sama dengan ketika adik kemari 9 tahun lalu...”

Dokumentasi pribadi dan Tim Ekspedisi; kecantikan misterius dan mencekam sore menjelang malam di Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau


Lalu lidahku kelu. Perjalananku dan tim ini 9 tahun lalu adalah nebar harap. Lalu kurasa kini, bahwa harap itu masih sebatas harap. Tibatiba aku disergap rasa bersalah. Yang bisa kulakukan adalah menulis, kemudian berharap pula bahwa tulisan ini akan terbang pada suatu keajaiban yang bisa membawa perubahan pada mereka nun jauh di sana. Semoga.yk[]

0 comments:

Post a Comment