“Tung Tau” Ngopi Klasik di Pulau Bangka_ Edisi Penikmat Kopi
Sepatusepatuyunis ngopi santai di Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
“Kopi adalah sebuah bahasa tersendiri.”
—Jackie
Chan—
Kalau anda
suka membaca tulisantulisan saya di blog atau pun di mediamedia lain,
mungkin (ini baru mungkin dan saya pede aja LOL) anda bertanyatanya
kenapa saya jarang sekali—hampir tidak pernah—menulis makanan khas atau kuliner
suatu daerah secara mendalam, kecuali sempalan dan menjadi pelengkap saja dalam
tulisan. Jawabannya, pertama mengulas citarasa makanan beserta bahanbahannya
bukan keahlian dan minat saya. Kedua, karena sejujurnya saya tidak khusus
berburu kuliner ketika melakukan perjalanan alias saya tidak terlalu hobi
makan. Xoxoxo… namun berbeda dengan kopi-ngopi.
Jauh sebelum
“ngopi ngafe—ngafe ngopi” ngehits dan booming beberapa tahun terakhir,
saya sudah doyan ngopi. Hitam, kental, tanpa gula, dan ditubruk. Adalah
ayah yang menularkan kegemaran ngopi hitamnya pada saya. Lantas sekeluarga saya
pun jadi doyan ngopi, termasuk mama. Meski mama, kedua kakak lelaki saya
almarhum dan adik kembar saya yang satu lebih menyukai kopi susu. Sementara
ayah, saya dan adik kembar yang satunya lagi sepakat pada kopi hitam. Bahkan adik
bungsu kembar saya menulis novel tentang kopi yang berjudul “Babad Kopi
Parahyangan”, anda bisa mencarinya di tokotoko buku mainstream a.k.a mayor.
Mendedah tentang
kopi bukanlah perkara sederhana. Sebab berbicara kopi paling tidak akan
bersinggungan dengan histori, geografi, serta sosial budaya. Kompleks memang. Kopi
yang anda nikmati setiap hari, tidak ujugujug hadir melengkapi aktivitas
harian anda. Misalnya, anda menyukai jenis kopi biji arabika Gayo dari Aceh
dengan natural proses, medium roasting, digiling secara manual, dan
ketika menyeduhnya anda senang menggunakan air panas yang baru dididihkan.
Dari
serangkaian tindakan yang anda lakukan demi mendapatkan secangkir kopi, ada
serangkaian kisah yang bisa disingkap. Pertama, jenis arabika hanya tumbuh
dengan baik pada ketinggian 1000-1500 mdpl (meter di atas permukaan laut)—secara
geografi adalah wilayah pegunungan/dataran tinggi. Kedua, kopi arabika Gayo
merupakan jenis biji kopi yang berasal dari daratan tinggi Gayo, Aceh Tengah—secara
histori adanya perkebunan kopi di Tanah Gayo merupakan kebijakan pemerintah
Kolonial Belanda tentang pembukaan dan perluasan lahan perkebunan di Aceh
(untuk lengkapnya anda bisa membaca buku/artikel referensi sejarah tentang kopi
Gayo). Ketiga, natural proses adalah proses pengeringan langsung di bawah sinar
matahari setelah ceri kopi dipetik lalu ditebar di atas alas, dibolakbalik
manual dan proses pengeringannya memerlukan waktu lama—secara sosial budaya
teknik tertua ini memengaruhi kehidupan petani kopi dan aktivitas hariannya,
dan sebagainya, dan sebagainya… panjang kan? Semua hal tersebut adalah
wawasan yang mau tidak mau memengaruhi cara anda memperlakukan kopi, membuatnya
menjadi secangkir minuman, serta menikmatinya.
*
Dok pribadi - suasana dalam warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
Tiba di
warung Tung Tau, suasana sore di warung terbilang sepi. Mejakursi ngopi—baik yang
di luar maupun di dalam—tidak terisi pengunjung sama sekali. Dengan suasana
tersebut, saya, Icky dan Bro Tony lebih leluasa memilih tempat duduk. Lantas
kami bertiga memilih tempat di pojok dengan latar dinding berlapis kayu bercat
coklat yang bertuliskan “Tung Tau; Sejak 1938”, berwarna merah dan putih.
Sementara ruangan dalam memiliki interior zaman doeloe, dengan figura fotofoto
penggalian tambang timah, suasana Sungailiat, serta bangunan lama bernada
monokrom hitam putih kekuningan, serta pudar dimakan waktu.
Pramusaji
tersenyum ramah pada kami seraya menyodorkan lembaran menu. Saya tenggelam
membaca dengan serius deretan tulisan menu yang tertera. Menu andalan kopi-O-nya
menarik, sayang, lambung saya gencatan senjata dengan robusta. Jika memaksakan,
maka seharian akan saya habiskan dengan terlentang di atas tempat tidur. Jika robusta
ditambah susu, lambung saya masih bisa kompromi. Jadilah, kopi susu dingin dan
roti bakar. Tidak memerlukan waktu lama pesanan pun datang. Porsi rotinya tidak
terlalu besar, namun cukup mengeyangkan bersama guyuran kopi susu dingin di
tenggorokan. Yummyyy!!
Dok pribadi - kopi susu dan roti menu andalan Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
Sebagai salah
satu warung kopi tertua di Bangka, tentu saja kisah sejarah dibaliknya tak bisa
dinafikan. Berdiri sejak tahun 1938, warung Tung Tau merupakan warung
kopi legenda dan menjadikannya salah satu yang tertua di Bangka. Dengan menu
utama kopi-O (kopi hitam) dan roti panggang tradisional. Warung kopi
yang sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda ini dikelola dengan tetap
mempertahankan resep tradisional, disertai penambahanpenambahan menu yang disesuaikan
menurut perkembangan zaman yang sejalan dengan slogannya, yaitu “Setia Menjaga
Cita Rasa Khas Tung Tau”.
Dok pribadi - pilihan aneka menu di warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
Rahasia kelezatan
roti panggang Tung Tau dan selainya, karena dibuat sendiri dengan resep dan
cara yang sama selama puluhan tahun dengan menggunakan bahanbahan alami tanpa
pengawet. Kopi Tung Tau menggunakan 100% biji kopi asli, dengan jenis kopi
robusta. Diolah secara tradisional yang diteruskan dan tetap dipertahankan dari
generasi ke generasi sampai sekarang. Sehingga memiliki cita rasa yang khas
dibandingkan dengan kopi lainnya.
Penamaan warung
kopi Tung Tau diambil dari nama penggagasnya langsung, yaitu Mr. Fung Tung Tau.
Tahun 1950 pengelolaannya dilanjutkan generasi kedua, yaitu Budjang Bunaan,
kemudian diteruskan istrinya yang bernama Maria Matali pada tahun 1980an. Kini,
pengelolaan Tung Tau dilanjutkan oleh generasi ketiga Tedy SE yang dimulai sejak
tahun 2010.
Dok pribadi - dokumentasi yang dipajang di warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
Meski penamaannya
diambil dari nama penggagas/pendiri, namun kata “Tung Tau” sendiri memiliki
makna “Jalan Timur”, dikarenakan jalan di depan warung yang menuju ke arah
timur mengacu kondisi lalu lintas zaman kolonial. Warung Tung Tau pertama berdiri
dan sampai sekarang masih menempati lokasi yang sama, yaitu di Jl. Muhidin,
Sungailiat, Bangka. Pengembangannya terbilang cukup pesat, hingga saat ini warung
Tung Tau telah memiliki 7 cabang yang tersebar di Pulau Bangka, dan menjadi
salah satu tujuan wisata kuliner utama di pulau Bangka.
*sumber informasi didapat langsung dari warung Tung Tau
cabang induk Jl. Muhidin.
Pulau Bangka
Belitung yang didominasi dataran rendah, jelas tidak memungkinkan untuk menanam
biji kopi jenis arabika. Kawasan gunung tertinggi yang bernama Gunung Maras dan
bukit Idat hanya memiliki ketinggian di bawah 1000 meter di atas permukaan
laut. Jenis kopi yang bisa dibudidayakan adalah robusta. Untuk kopi jenis
arabika biasanya didatangkan khusus dari beberapa daerah penghasil kopi
arabika, misalnya dari pulau Sumatera dan pulau Jawa. Ini mengapa warung Tung
Tau menggunakan jenis kopi robusta.
Apa sih
perbedaan arabika dan robusta? Singkatnya, rasa pada jenisjenis kopi
dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya. Arabika cenderung lebih ramah lambung,
karena rasanya yang lebih soft, rendah kafein, beraroma (terkadang wangi
buah/bunga) dengan varian rasa after taste yang beragam. Sementara robusta,
lebih strong, pekat, hitam, pahit, tinggi kafein, dengan varian rasa after
taste yang terbatas. Selain arabika dan robusta, sebenarnya ada dua jenis kopi
lagi yang beredar di pasaran, yaitu jenis liberika dan excelsa, namun peredarannya
dalam jumlah terbatas.
Keberadaan warung
kopi Tung Tau yang berdiri puluhan tahun, telah menjadi “bahasa pergaulan”
bagi masyarakat sekitar juga bagi pendatang dan wisatawan. Ia adalah saksi
sejarah, aset daerah, dan tempat berinteraksi lintas budaya. Semoga warung kopi
Tung Tau tetap berjaya untuk waktu yang sangat lama.yk[]
Untuk Nurhadi 'Badu' Irawan almarhum (satu dari empat pendiri brand kopi Sangrai
Wangi), seorang sahabat sesama penikmat kopi yang berpulang, ketika dalam
proses menulis artikel ini. RIP Brother.
Foto by Bro Tony - Yunis Kartika dan Icky di Tung Tau Sungailiat, Bangka. |
“Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak
menikmatinya,
karena dihadapan kopi kita semua sama.”
—Dewi
Lestari—
PS : sila menulis komentar, membagikan
atau meninggalkan alamat web/blog-nya untuk bertukar sapa dan saling
mengunjungi.
0 comments:
Post a Comment