Gunung Tangkuban Perahu_ Edisi Latih



Penghujung musim hujan. Hari bergulir diiringi awan mendung. Namun kadang matahari diamdiam sekelebat muncul, tapi mendung bersegera menutupi seakan melompat. Sebetulnya udara cukup bersahabat meski lembab. Uap tanah secara pasti naik ke atas untuk kemudian dengan pasti pula kembali lagi serupa rinai indah.
Sudah dalam agenda pasti, hari ini tetap hari penuh aktivitas. Yunis telah melingkari tanggal di hari ini untuk pergi menikmati Tangkuban Perahu. Aku lebih berpasrah. Bukan apaapa, sebetulnya aku kurang suka dengan jalanan basah yang akan membuat tubuhku turut menjadi basah. Dengan cuaca begini aku kira lebih baik kalau di rumah saja, beristirahat di rak sepatu dan merasakan hangat suhu ruang. Bukankah perjalanan bisa dilakukan di hari lain yang lebih bersahabat? Ugh!
Membayangkan Tangkuban Perahu, membayangkan hujan, yang terlintas adalah aku kedinginan. Berlari kecil, mencoba menghindari kubangankubangan air yang bisa jadi menutupi semua jalanan membuat aku bergidik. Ugh! Kenapa harus hari ini sih? Kenapa musti sekarang sih? Argh...
Tapi Yunis adalah Yunis. Ketika harus pergi, dia akan tetap pergi, tak ada satu apapun yang bisa menahannya. Tidak pula badai kurasa. Pernah aku dan Leona –salah satu sepatu milik Yunis bercerita, bahwa mereka –Leona dan Yunis, terperangkap badai di gunung Rinjani. Berbasahbasah mereka mencari shelter atau tempat berlindung sementara untuk para pendaki beristirahat atau menunggu badai reda sebelum melanjutkan perjalannya. Leona bercerita, badai yang belum reda sepenuhnya diterjang oleh Yunis untuk melanjutkan pendakian. Aku sedikit bergidik membayangkannya. Bersyukur, bahwa aku tidak berada dalam situasi yang penuh adrenalin seperti itu. Ah... Jadi, meski aku berberat hati untuk mendampingi Yunis ke Tangkuban Perahu hari itu, kurasa aku lebih beruntung dari Leona. Sebab, Tangkuban Perahu bukan jenis pendakian gunung, hanya rekreasi biasa dengan panorama gunung.  Baiklah, kurasa aku harus mulai memperbaiki mood dan membuat jalanjalan ini menyenangkan.
Tentang Tangkuban Perahu. Mari kuceritakan...
Barangkali kalian tidak asing dengan legenda gunung Tangkuban Perahu. Alkisah, bahwa gunung Tangkuban Perahu ada karena Sangkuriang –sang tokoh utama dalam cerita rakyat tersebut tidak berhasil atau seakan tidak berhasil dalam membuat sebuah perahu pesanan Dayang Sumbi. Dikisahkan bahwa dahulu kala hiduplah seorang anak lelaki yang terpisah dari ibunya dikarenakan sang anak membunuh seekor anjing bernama Tumang yang setia menemaninya kemanapun pergi. Sang anak tidak mengetahui bahwa anjing tersebut merupakan jelmaan ayahnya yang dikutuk dewa. Sebelum berpisah sang ibu dengan rasa marah dan sedih yang luar biasa mengusir anaknya dan memukul sehingga tanpa sengaja membuat luka di kepalanya. 
Waktu bergulir, kisah berpilin dalam kelindan nasib yang akhirnya mempertemukan kembali anak dan ibu dalam suasana dan situasi yang berbeda. Sang anak jatuh cinta pada seorang wanita jelita yang tidak diketahui bahwa wanita itu adalah ibunya sendiri. Dengan gagah berani lelaki tersebut menyatakan cintanya. Sang ibu yang pada awalnya tidak mengetahui bahwa lelaki itu adalah anaknya bersuka cita menerima cintanya. Namun, sebelum tiba hari bahagia, sang ibu tanpa sengaja melihat luka di kepala sang lelaki yang telah jadi pertanda bahwa luka tersebut dibuat dalam rasa sedih dan marah oleh dirinya. Menyadari jika lelaki yang mencintai itu adalah anaknya, sang ibu berusaha menjelaskan, akan tetapi sang lelaki yang tertutup oleh cinta tak bisa menerima hal tersebut. Maka, setelah melalui perenungan dan pemikiran panjang dan meminta petunjuk dari sang Hyang Widi, akhirnya sang ibu mendapat pencerahan. Tidak menunggu lagi, sang ibu akhirnya mengajukan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh sang anak jika memang sang anak ingin menikahinya. Salah satu syarat tersebut adalah membuat sebuah perahu yang besar dalam waktu semalam, harus selesai sebelum ayam jantan berkokok dan hari berganti terang. Sang anak yang saat itu memang telah memiliki kesaktian memohon bantuan pada semua makhluk hidup di dunia lain untuk membantu merampungkan syarat yang diajukan sang ibu, Dayang Sumbi. Sang anak, Sangkuriang dengan kepercayaan diri dapat menyelesaikannya bergegas dan bekerja dengan keras. Melihat bahwa perahu bisa dirampungkan sebelum ayam jantan berkokok membuat Dayang Sumbi cemas. Sehingga dia berdoa memohon petunjuk Dewata apa yang bisa dilakukan agar pekerjaan sang anak tidak selesai pada waktunya.
Dewata penuh kasih. Dengan penuh kemurahan dibimbingnya Dayang Sumbi pada sebuah penyelesaian. Mengendap perlahan, Dayang Sumbi membawa sebuah penerangan ke kandang ayam jantan. Ayamayam jantan yang mengira bahwa pagi telah datang dengan rela berkokok panjang. Mendengar kokokan ayam, hancur sudah perasaan Sangkuriang. Kerja kerasnya tidak berhasil. Dengan kekecewaan memuncak ditendangnya perahu yang hampir rampung hingga jauh menuju Bandung Selatan dengan kondisi terbalik.
Begitulah. Sang ibu akhirnya bisa mencegah perkawinan insis, dan cerita legenda ini terus diceritakan dari masa ke masa. Lewat mulutmulut orangtua, lewat bukubuku cerita dan menjadi kisah dongeng yang abadi.  
Uhuk! Aku terbatuk kecil sambil menahan kantuk. Yunis menceritakan kisah yang sungguh sudah juga kutahu. Menghentakan kaki dengan sedikit bertenaga sehingga membuatku terjaga. Ah, rupanya sudah sampai.
Gunung Tangkuban Perahu adalah ujung perbatasan dengan wilayah Subang. Menjadi penanda geografis. Masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat, dan menjadi ujung Lembang. Siapa yang tak tahu Lembang? Kaya dengan berbagai macam tempat rekreasi dan penuh pilihan untuk kuliner. Jadi, sebenarnya jika melancong ke gunung Tangkuban Perahu, artinya akan banyak tempat istimewa lain yang bisa dikunjungi dalan sekali perjalanan.
Untuk memasuki area ini –gunung Tangkuban Perahu, hanya ada satu pos penjaga yang berfungsi sebagai pos tiket. Tidak mahal, sungguh. Tarifnya masih sangat beradab. Baik karcis yang dikenakan untuk kendaraan maupun karcis untuk pengendaranya. Usai membayar administratif, kami langsung melanjutkan perjalanan. Tentu saja kendaraan akan terus sampai di puncak. Karena gunung Tangkuban Perahu bukan jenis gunung pendakian semisal gunung Rinjani yang Leona ceritakan kepadaku.


Sekitar 1-2 kilometer, perjalanan dengan kontur jalan yang berkelokkelok memutar akhirnya sampai di puncak. Hamparan dataran khusus untuk parkiran kendaraan, baik roda empat maupun roda dua telah tertata rapih. Petugas parkir berseliweran menertibkan kendaraan. Memberikan arah dan petunjuk.
Masih mendung dan berawan. Matahari meski bersikeras ingin ikut hadir di hari itu akhirnya mengalah. Satu-dua rintik hujan yang masih jarangjarang menyambut kami. Aroma belerang memberi kesan lain. Yunis bergegas melompat keluar dari mobil. Berlari kecil menuju sebuah shelter peristirahatan yang berukuran cukup besar. Didalamnya tak luput terdapat beberapa pedagangpedagang makanan yang turut meramaikan suasana. Rintikrintik jarang menjadi padat. Helaan napas lega terdengar seperti bersahutan dari orangorang yang selamat dari rinai deras yang bisa membuat badan kuyup. Kabut perlahan turun menyelimuti dan memeluk setiap lekuk sudut.


Shelter ini berada tepat di samping sebuah kawah menganga yang masih dengan aktif beraktivitas dengan semburan letupanletupan mini yang menarik mata. Warna hijau gradasi sangat memikat. Kawah ini berdiameter cukup besar, tapi aku sendiri tidak tahu pasti angkanya. Seperti tersihir Yunis untuk beberapa saat terpaku, hampirhampir tak berkedip. Dramatis dan melankolis. Sampai seorang asing menubruknya dan menginjak aku. Aduh! Namun hanya sebatas itu, Yunis sudah kembali tenggelam dalam suasana dan dengan cekatan memotret panorama yang menakjubkan tersebut.
Ya, panoramanya memang menakjubkan. Shelter ini memang sangat representatif. Semua sudut dan hamparan bisa dinikmati. Atapatap berbentuk kerucut dengan baik dan tertata membentuk komplek tersendiri. Di bawah atapatap ini berbagai souvenir dijual. Mulai dari kaos bertuliskan gunung Tangkuban Perahu, kemudian batangbatang pohon pakis yang dibentuk kedalam aneka bentuk, juga gantungangantungan kunci dengan berbagai bentuk khas ala Tangkuban Perahu ditawarkan. Semuanya dalam harga yang relatif manusiawi. Sungguh!
            Well, barangkali perjalanan kali ini memang dingin dan basah. Tapi sesungguhnya aku suka. Kapan lagi menikmati nuasa pegunungan berapi yang kau tidak perlu susah payah dan bercapekcapek mendaki? Murah meriah dan sungguh amazing? Ya, gunung Tangkuban Perahu. Wanna try?yk[]

0 comments:

Post a Comment