Wisata Legenda Malin Kundang dan Pantai Air Manis_ Edisi Samayo
Samayo di Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat dengan view Pulau Pisang. |
“Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan
pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan
menyatu dengannya.”
-- Soe Hok Gie –
Enaknya ke
pantai siang, sore, pagi atau malam? Tergantung letak pantainya kali ya, dapatnya
sunset atau sunrise. Nah, berhubung ini merupakan jalanjalan yang
dibatasi hari dan waktu, dengan banyaknya daftar tempat yang ingin dikunjungi,
jadilah masih agak terik aku di seret Yunis ke Pantai Air Manis. Fiuh! Seharusnya
Yunis tahu bahwa aku tidak cocok untuk dipakai wisata pantai, air dan pasirnya
akan mengotori tubuhku hingga susah dibersihkan. Semoga aku tidak dipaksa untuk
berjalan di pasir basah di pinggir pantai. Kalau pun hendak bermain air dan pasir,
Yunis mau bertelanjang kaki!
Kuceritakan
perjalanan kami…
Setelah mengunjungi
dua tempat lain, akhirnya Yunis memutuskan untuk menghabiskan hari itu di
Pantai Air Manis. Pantai Air Manis, terletak di Kelurahan Aie Mani, Kecamatan
Padang Selatan, Padang, Provinsi Sumatera Barat. Untuk menuju ke sana bisa
menggunakan kendaraan roda dua atau pun roda empat. Kurang lebih 30 menit dari
pusat Kota Padang, dengan kondisi jalan yang meliukliuk sudah teraspal dengan baik,
kecuali menuju pintu masuk pantai. Jalannya hanya cukup untuk 2 mobil, jadi
sebaiknya tidak perlu tergesa apalagi ngebut ingin menyalip kendaraan di depan.
Akan sangat berbahaya, apalagi jika belum mengenal medannya.
Dengan menggunakan
jasa taksi aplikasi, kami pun sampai. Duh… matahari masih terik,
rengekku yang tentu saja tidak akan didengar Yunis. Taksi menurunkan kami tepat
dekat trotoar pembatas antara tempat parkir dan area pantai, setelah sebelumnya
kami membayar tiket masuk seharga Rp.5000,- rupiah/orang. Cukup murah bukan? Sebagai
informasi tambahan, sinyal untuk providerprovider tertentu kurang baik sehingga
jangkauan untuk memanggil taksi aplikasi cukup sulit. Hanya bisa menjangkau
satu aplikasi taksi bernama MAXIM –bukan iklan yes, dan aplikasi ini bersedia
mengambil penumpang sejauh apa pun sekiranya masih dalam jangkauan sinyal. Sebaiknya
jika menggunakan aplikasi taksi, jangan pulang lebih dari jam 6 sore, karena kemungkinan
peluang mendapat taksi semakin kecil.
Dok pribadi - Pantai Air Manis, Padang. |
Begitu turun
dari kendaraan, beberapa motor ATV sewaan langsung menghampiri kami. Dari tarif
tinggi hingga tarif “terserah kita” alias bisa ditawar tergantung lama waktu
pemakaian. Minimal waktu sewa 1 jam. Hmmm… kurasa Yunis malas juga
keliling pantai di terik matahari dengan berjalan kaki, karena kulihat Yunis setuju
untuk menyewa motor ATV selama 2 jam. Melihat gelagatnya, kuyakin juga Yunis
tidak akan bermain air dan pasir kali ini.
Jadilah kami
ber-ATV ria berkeliling dari ujung ke ujung. Tidak memerlukan waktu lama,
karena area lintasan motor ATV terbatas, sehingga rasanya tak perlu waktu 2
jam. Akhirnya kami menyerahkan kembali pada sang pemilik ATV untuk membawa kami
berputarputar, berhenti, berputarputar lagi, berhenti, berputarputar lagi, lalu
berhenti di sisi pantai selatan, tepat di tangga menuju area kisah legenda “Malin
Kundang”.
Pernah mendengar
cerita rakyat yang berjudul “Malin Kundang Si Anak Durhaka”? Legenda dari
Tanah Minang ini salah satu yang populer di Indonesia dari sekian banyak cerita
rakyat yang beredar. Sejak zaman sekolah dasar cerita ini sudah diperkenalkan
dan dipelajari karena pesan moralnya yang kuat; bahwa akan selalu ada hukum
alam dan hukum Tuhan bagi anak yang durhaka terhadap orang tua.
*
Dok pribadi - Serpihan kapal Malin Kundang yang menjadi batu. |
Alkisah, hiduplah seorang ibu bernama Madeh Rubayah bersama anak semata wayangnya Malin Kundang. Mereka hanya tinggal berdua di perkampungan nelayan Pantai Air Manis, di daerah Padang, Sumatera Barat. Untuk mencukupi kehidupan seharihari Madeh Rubayah berjualan kue, dan Malin Kundang remaja membantu dengan menjadi nelayan. Hingga suatu hari, ketika Malin Kundang cukup besar, ia mengutarakan keinginan untuk merantau mengadu nasib kepada ibunya. Semula, sang ibu tidak mengizinkan dan meminta Malin untuk tetap tinggal di kampung dan menjalani harihari sebagaimana biasanya. Namun, Malin tetap gigih pada keinginannya hingga sang ibu mengalah dan memberi restu. Malin menjanjikan akan sesegera dan sesering mungkin berkirim kabar, dan akan pulang jika tujuannya telah tercapai.
Singkat
cerita, berangkatlah Malin Kundang menggunakan kapal besar yang berlabuh di
Pantai Air Manis diiringi pelukcium, tangis dan doa dari sang ibu. Hingga
bertahuntahun berlalu, Madeh Rubayah tidak pernah mendapat kabar dari anak
tunggalnya. Usianya semakin tua, namun doadoa dan harapan tak putus dipanjatkan
dengan deras untuk keselamatan Malin Kundang. Hingga suatu hari tersiarlah
kabar tentang sebuah kapal besar yang indah tengah merapat. Kapal besar milik
saudagar kaya raya dari sepasang suami istri yang masih muda. Mendengar kabar
tersebut, Madeh Rubayah tua turut pergi ke tepi pantai, berharap dapat berjumpa
dengan sang buah hati. Naluri seorang ibu selalu kuat. Demi melihat suami istri
muda di atas kapal itu adalah putra kesayangan yang ditunggutunggunya pulang.
Penuh rasa bahagia dipeluknya Malin Kundang. Sang anak yang telah berhasil
menjadi pedagang dan mempersunting putri saudagar bangsawan kaya raya merasa
malu melihat penampilan perempuan tua dengan pakaian compang camping memeluk
dan mengakuinya sebagai anak. Tanpa pikir panjang, ditepis dan ditendang ibunya
hingga tersungkur, disertai katakata kasar mencemooh tak mau mengakui bahwa
perempuan itu ibunya.
Dok pribadi - Serpihan kapal dan batu Malin Kundang. |
Madeh
Rubayah terpukul, hatinya perih luar biasa hingga tak sadarkan diri. Ketika
tersadar, Pantai Air Manis telah sepi. Kapal besar Malin Kundang semakin
menjauh. Dengan kesakitan hati seorang ibu yang tak berdaya, ditengadahkan
tangannya, doa dari sebuah penderitaan dipanjatkan. Semesta mengabulkan doa
sang ibu. Hujan badai disertai petir menghantam kapal Malin Kundang hingga
hancur berkeping. Sebagian kepingan dari kapal terseret ombak kembali ke pinggir
Pantai Air Manis beserta tubuh Malin Kundang. Ketika matahari bersinar kembali,
kepingan kapal dan tubuh Malin Kundang telah berubah menjadi batu.
*
Dok pribadi - Foto panorama serpihan kapal dan Malin Kundang yang membatu. |
Cerita
rakyat, folklor, legenda, mitologi, dongeng, dan takhayul merupakan
tradisi dan sarana penyebaran informasi dalam suatu budaya secara turun menurun.
Harus digarisbawahi, bahwa semua tersebut di atas adalah fiksi berlatar budaya
lokal setempat dan bukan fakta sejarah. Jadi, batu Malin Kundang bukanlah situs
sejarah –semacam candicandi, dan memang tidak ada dalam sejarah. Batu yang
mirip manusia tengah bersujud di Pantai Air Manis merupakan buatan Pemerintah
Kota Padang sematamata untuk kepentingan pariwisata Pantai Air Manis. Pembuatannya
yang semenarik dan semirip mungkin adalah sebuah karya menghidupkan imajinasi
ke ruang realitas. Seperti mengangkat sebuah cerita ke film layar lebar. Laiknya
teks yang berubah menjadi gerak.
*
Semakin sore,
orang mulai ramai berdatangan meski bukan hari libur. Berbeda dengan di Bukittinggi,
selama kami di sana hujan-cerah-hujan-cerah menghiasi perjalanan setiap
harinya. Di Pantai Air Manis ini, langit cerah sekali. Sinar matahari sore,
menimbulkan ribuan kerlip pada riakriak ombak tenang di bibir pantai. Berpasir coklat
keputihan bercampur aroma laut yang kental, sungguh menakjubkan. Pepohon nyiur,
pinus dan beberapa jenis pohon besar tumbuh berderet, sebagian alami, sebagian
memang diatur demikian. Di sisi utara terdapat Gunung Padang yang berdampingan
dengan dua pulau kecil; Pulau Pisang Kecil (Pisang Ketek) dan Pisang
Besar (Pisang Gadang). Pantai yang dikaitkan dengan legenda Malin
Kundang. Sayangnya, kami tidak berkesempatan untuk menyeberang ke pulau pisang,
jadi tidak ada yang bisa diceritakan lebih dalam.
Dok pribadi - Gazebogazebo dengan pemandangan langsung ke laut Pantai Air Manis. |
Sepanjang bibir
pantai berdiri warungwarung dan gazebogazebo tempat makan, dengan panorama langsung ke arah laut.
Harga makanannya pun friendly. Yunis malah sempat berbincang dengan
salah satu pemilik warung.
“Menuju
sore ramai ya bu?” Tanya
Yunis sambil memerhatikan pintu masuk menuju pantai.
“Iya,
baru sekarang ramai lagi. Selama pandemi pantai ini ditutup, kami baru buka 2
minggu ini.” Jawab ibu
pemilik warung dengan nada polos.
“Oh! Iya!
Pantas saja meski bukan hari libur, pantai ramai. Orangorang butuh piknik.” Kata Yunis bergurau sambil tertawa
kecil.
“Iya Mba,
betul.” Ibu pemilik
warung mengamini sambil turut tertawa kecil pula.
Mengalirlah obrolan
ini itu--itu ini sampai makanan yang terhidang habis, Yunis pun membayar bon
dan pamit untuk kembali menikmati suasana pantai.
Dok pribadi - Foto panorama Pantai Air Manis sisi selatan. |
Kami melintasi
bibir pantai sekali lagi, menghirup udara laut penuhpenuh. Merasakan sensasi
asin di hidung, di bibir dan di paruparu. Matahari mulai tergelincir ke barat. Sunset
rupanya di sini, Yunis bergumam. Ditatapnya lekat matahari sore, angin
berhembus ringan dan riang meniup rambut, dedaun dan bebatang. Menghasilkan tarian
bayangbayang di tanah berpasir. Ah, sudah waktunya pulang. Pantai Air
Manis dengan aroma khas laut; asin, amis, lengket dan manis oleh kisah. Menjejakkan
kaki di pantai legenda Malin Kundang, mengurai cerita memetik makna; sungguh, keluasan
alam adalah ruang belajar tanpa batas.yk[]
Foto by Icky - Yunis Kartika, Samayo dan Pantai Air Manis sisi barat. |
“Cinta adalah pemberian para Dewa
yang dengan mudah dapat berubah menjadi hukuman dari
Tuhan.”
-- Alessandro Morandot –
PS
: sila untuk menulis komentar, membagikan atau meninggalkan alamat web/blog-nya
untuk bertukar sapa dan saling mengunjungi. Terima Kasih sudah mampir ^_^
2 comments:
👍👍👍👍
: terima kasih sudah mampir ^-^
Post a Comment