Tebing Breksi Yogyakarta; Menapak Waktu, Membaca Cerita Batu Purba_ Edisi Samayo
![]() |
| Samayo menepi sejenak di pangkuan batu purba. |
“Perjalanan dari
suatu penemuan bukan dengan mencari pemandangan baru,
tetapi dengan memiliki ‘mata baru’.”
—Marcel Proust—
Pemberhentian kami selanjutnya adalah Taman Tebing
Breksi, sebuah lanskap yang dulunya hanya berupa bekas penambangan batu
alam. Kreativitas orang Indonesia memang tak pernah kehabisan cara. Dengan mata
baru, lahan tambang yang dulu penuh debu kini disulap menjadi ruang wisata
yang memikat—punya ciri khas, punya cerita.
Dari kejauhan, dinding batu raksasa itu menjulang
seperti kitab tua yang terbuka separuhnya. Guratannya menyerupai
halaman-halaman panjang yang siap dibaca, sekaligus bekas pahatan waktu yang
tak pernah selesai menulis. Di sanalah, kisah bermula.
Untuk masuk ke kawasan ini, pengunjung dikenai tiket
sebesar Rp10.000 per orang, termasuk asuransi Rp500. Parkir motor Rp2.000,
sedangkan kendaraan roda empat Rp5.000 tanpa batas waktu, mengikuti jam
operasional buka-tutup. Oh ya—siapkan uang kecil. Beberapa spot foto khusus
meminta pembayaran sukarela, baik untuk jasa fotografer lokal maupun dekorasi
yang digunakan..
Tiba di gerbang utama Tebing Breksi, rasanya seperti
memasuki bab baru. Dari titik ini, rute-rute bercabang seperti paragraf yang
menuntun pembaca ke arah yang berbeda. Relief besar bertuliskan “Tebing Breksi”
menyapa lebih dulu, disusul tangga-tangga batu kapur yang mengantar pengunjung
menuju puncak tebing—titik di mana panorama alam Sleman dan kota Jogja tersaji
tanpa batas.
![]() |
| Tangga batu kapur menuju puncak tebing dan spot burung hantu. |
Di sepanjang jalur, wahana dan spot foto tersebar
seperti tanda baca yang memperkaya cerita. Ada Cowboy Breksi, tempat
pengunjung dapat menaiki kuda mengelilingi sisi barat tebing, memilih rute
pendek atau panjang. Di sepanjang lintasan itu, banyak titik foto dengan sudut
menarik. Ada pula Jeep Wisata/Offroad, layanan populer yang
menghubungkan Breksi dengan destinasi sekitar: Candi Ijo, Bukit Teletubbies,
hingga desa-desa wisata. Tarif sewanya sudah ditetapkan sesuai durasi, tinggal
memilih rute yang paling menggoda.
Di salah satu dataran tinggi bernama Watu Tapak Camp
Hill, pengunjung bisa berkemah. Dari sini, panorama Jogja dan Prambanan
terlihat lebih lapang. Pemandu kami bercerita bahwa titik ini sangat cocok
untuk sunrise, sunset, bahkan fotografi malam yang romantis—sayangnya,
waktu kami terbatas. Tapi membayangkannya saja sudah menyisakan ruang rindu.
![]() |
| Di Breksi setiap foto hidup oleh tawa pengunjung dan bidikan fotografer lokal. |
Dengan waktu terbatas, kami pun berburu spot ukiran
relief batu. Terdapat relief wayang, ukiran naga, dan pahatan-pahatan dekoratif
lain yang menjadi latar foto favorit karena artistik, tegas, tampak seperti
karya seni yang bernegosiasi dengan waktu.
Ada pula spot burung hantu, ya—burung hantu sungguhan.
Jinak, lucu, dan siap diajak berfoto. Kami tidak terlalu paham jenisnya, tapi
matanya yang bulat seakan memantulkan cerita Breksi sendiri; tua, tajam, dan
diam-diam lembut.
Di sudut lain terdapat foodcourt dan
pergola—tempat kami duduk sejenak, memulihkan napas sambil menikmati gorengan
hangat dan secangkir the hangat manis. Di bawah pergola inilah perjalanan
terasa berhenti sebentar, memberi ruang untuk merenungi apa yang sudah dilihat.
Di tengah kompleks terdapat amfiteater Tlatar
Seneng—panggung terbuka yang kerap menjadi tuan rumah bagi musik, tari, hingga
pentas komunitas. Dulu palu dan pahat menggema di sini, kini suara gamelan,
tawa penonton, dan tepuk tangan mengisi ruang batu purba.
Sebelum jadi objek wisata yang ramai didatangi orang,
tempat ini hanyalah area tambang batu. Para lelaki desa bekerja dari pagi
hingga senja, memecah bongkah demi bongkah. Palu dan pahat adalah musik
sehari-hari, debu kapur adalah kabut yang akrab. Namun, tahun-tahun itu
bergeser, penambangan berhenti. Yang tertinggal hanyalah tebing berwarna pucat,
terluka oleh mata pahat, sepi dari riuh pekerja. Banyak orang mengira tanah ini
akan jadi “bekas” yang dilupakan.
Tapi warga tak menyerah. Mereka menolak membiarkan
bekas tambang ini sekadar lubang di peta. Dengan tangan kolektif, Tebing Breksi
dipoles ulang, jalan ditata, relief diukir, area parkir dibuka. Perlahan-lahan,
bekas luka itu justru menjadi ruang baru yang menghidupi.
Perubahan ini mencapai puncaknya pada 30 Mei 2015,
ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan kawasan tersebut sebagai
destinasi wisata. Dari situlah Breksi resmi membuka diri, bukan lagi sekadar
dinding batu, melainkan halaman baru bagi Yogyakarta.
Kata “breksi” berasal dari breccia—istilah
geologi untuk batuan yang terbentuk dari pecahan-pecahan material yang
dipadatkan oleh waktu. Tebing di Sambirejo ini adalah hasil letusan gunung
purba berjuta tahun lalu. Lapisan demi lapisan batu adalah paragraf panjang
bumi yang tak pernah kita tulis, tapi bisa kita baca.
Kini, para geolog menjadikannya geoheritage,
warisan geologi yang penting bagi ilmu pengetahuan. Tapi bagi pejalan biasa,
sepertiku dan Yunis, batu ini bukan sekadar obyek sains. Ia adalah latar yang
mengingatkan bahwa manusia hanyalah tamu sebentar. Bayangkan tebing yang kita
injak sudah ada sejak jutaan tahun sebelum kita, dan akan tetap berdiri lama
setelah kita pulang. Kalian bisa membayangkan, bahkan aku yang kecil ini bisa
menapak di batu yang besar oleh pengetahuan.
![]() |
| Lanskap batu purba Tebing Breksi yang memikat. |
Keindahan Breksi tak hanya datang dari geologinya,
tetapi juga seni yang hidup di dalamnya. Bekas pahatan tambang dilanjutkan
dengan ukiran baru—wayang, flora, naga besar, bahkan motif-motif modern. Bagi
fotografer, dinding ini adalah studio alam; bagi seniman, ia kanvas raksasa
yang tak pernah selesai. Saat senja turun, cahaya jingga menyapu relief.
Bayangan ukiran memanjang, seolah tokoh wayang itu hidup dan berjalan perlahan
di atas dinding waktu.
Di Breksi, transformasi sosial begitu terasa. Para
penambang beralih menjadi pemandu wisata, pedagang, penyewa jeep, atau
pengelola parkir. Anak-anak muda menjadi fotografer lokal, prewedding
atau konten kreator. Ibu-ibu membuka warung sederhana dengan menu khas seperti
bakmi Jawa, tempe bacem, dan kopi tubruk.
Seorang bapak yang kami temui di warung wedang berkata
sambil tersenyum, “Dulu kami gali batu untuk dijual. Sekarang kami jaga batu
agar orang datang lagi.” Kata-katanya melekat lama. Itulah
kearifan—menafsir ulang nasib, mengubah beban menjadi berkah. Pengelolaan
dilakukan oleh komunitas lokal dan BUMDes, sehingga perputaran ekonomi kembali
ke warga.
Setiap akhir pekan, ratusan hingga ribuan pengunjung
datang. Efek gandanya terasa, ojek desa hidup, rumah warga jadi homestay,
pesanan souvenir meningkat. Breksi bukan hanya objek wisata, tetapi ruang
penghidupan.
Sore merayap pelan, matahari mulai miring meski sedikit dibayangi mendung. Dari puncak
tebing, horizon membuka diri. Prambanan tampak jauh seperti siluet dongeng,
sementara Merapi berdiri dengan gagah, diam seperti penjaga waktu.
Breksi tak lagi hanya destinasi siang, tapi juga
galeri malam. Karena ketika matahari tenggelam, lampu-lampu kecil dinyalakan.
Dinding batu berubah jadi tirai cahaya. Warna putih, kuning, dan jingga menari
bersama gelap. Suara musik mengalun perlahan dari pengeras, bercampur tawa
pengunjung yang sibuk berfoto atau duduk-duduk sambil menyeruput kopi hangat. Udara
dingin pun turun perlahan, membawa pesan wajah baru Jogja yang modern tapi
tetap dekat dengan desa.
![]() |
| Panorama yang tenang dan cerita yang panjang, begitulah Breksi memeluk pengunjungnya. |
Berdiri di Tebing Breksi adalah cara paling lembut
untuk mengingat bahwa waktu jauh lebih besar dari kita. Batu ini saksi jutaan
tahun. Kita hanya mampir sebentar. Maka sebentar itu sebaiknya kita isi dengan
menghargai, menjaga, dan memberi makna.
Yunis berdiri, menepuk pelan punggungku dan berbisik, “Perjalanan
bukan hanya soal keindahan. Ia soal makna sosial, budaya, dan bagaimana manusia
menafsir hidup lewat tempat-tempat seperti ini.” Aku mengangguk dalam diam,
setia pada langkah berikutnya.[yk]
“Di antara fosil
geologi dan jejak sepatu,
kini ada rezeki,
seni, tawa pedagang dan pengunjung.”
—Sepatualang—
PS : sila menulis komentar, membagikan,
atau meninggalkan alamat web/blog-nya untuk bertukar sapa dan saling
mengunjungi. Terima kasih sudah mampir ^_^
















0 comments:
Post a Comment