Sepotong Roti Sidodadi, Segenggam Kenangan Bandung_ Edisi 3Some Travelers

toko roti sidodadi bandung
Pintu masuk keluar toko yang tak banyak berubah.

 

“Setiap kota menyimpan aroma yang khas. Bandung, bagi sebagian orang, harum tak hanya dari kopi dan bunga, tetapi juga dari sepotong roti hangat. Roti yang tak hanya mengenyangkan, melainkan mengikat kenangan.”

—Sepatualang—

 

  

Hari itu, langkah saya membawa ke Jalan Oto Iskandardinata. Deru kendaraan bercampur dengan suara pedagang kaki lima, papan parkir yang berderet, dan aroma tahu goreng dari gerobak di depan toko. Di antara hiruk pikuk kota, mata saya menangkap papan kayu dengan huruf besar berwarna merah: TOKO SIDODADI.

Tulisannya sederhana, catnya sedikit pudar, tapi justru itulah yang memikat. Toko ini tidak sibuk menampilkan wajah modern. Ia berdiri apa adanya, seakan berkata: “Kami sudah ada jauh sebelummu, dan akan terus ada dengan cara kami sendiri.”

Shoe footprints

  

toko roti sidodadi bandung
Beragam langkah berkumpul dalam satu barisan kecil.

Di dinding pintu kayu, terpampang kertas putih bertuliskan “Pintu Masuk” dan “Pintu Keluar.” Tidak ada pintu kaca otomatis, tidak ada pendingin ruangan. Hanya sebuah lorong sempit yang mengantar pembeli menuju meja kasir.

Saya masuk lewat pintu yang ditunjuk, bergabung dengan barisan manusia yang sudah rapi mengular. Ada ibu dengan kantong belanja, ada seorang bapak yang tampak terburu-buru, ada pasangan muda yang saling berbisik, dan ada wisatawan dengan kamera tergantung di leher. Semua sabar menunggu. Antrean itu bukan sekadar antrean, melainkan bagian dari ritual Sidodadi. Sebuah perjumpaan antargenerasi, diikat oleh satu tujuan—sepotong roti.

Begitu melangkah lebih dalam, aroma roti panggang langsung menyapa. Wangi tepung yang baru matang, gurih mentega, manis gula yang meleleh. Ada kehangatan yang merambat, membuat perut tiba-tiba merasa lapar, sekaligus nyaman.

Etalase kaca sederhana memajang roti-roti dengan aneka isian cokelat, srikaya, kismis, daging asap, abon, dan keju. Tidak ada nama-nama asing, tidak ada bentuk yang rumit. Semua tampil sederhana, padat, apa adanya, jenis roti yang sejak dulu menjadi andalan dan tak pernah kehilangan penggemar.

Di titik itu, ingatan saya melompat jauh ke masa kecil ketika mama sesekali pulang membawa roti isi cokelat Sidodadi atau sebungkus roti tawarnya. Saat itu, saya belum paham apa arti “legenda.” Yang saya tahu bahwa setiap gigitannya selalu membuat hari terasa lebih manis. Puluhan tahun berlalu, dan rasa itu tetap setia tinggal.

Shoe footprints

 

tampak depan toko sidodadi bandung
Di antara gerobak gorengan dan toko roti Sidodadi, kota Bandung bernapas.

Toko Sidodadi lahir di Bandung pada tahun 1950-an, masa ketika kota ini tengah tumbuh dan membentuk wajahnya sendiri. Nama “Sidodadi” sendiri bermakna harapan—sido berarti jadi, dan dadi berarti terus jadi. Harapan itu bukan hanya untuk pemiliknya, melainkan juga untuk setiap orang yang menggantungkan hidup dari roti-roti ini.

Di masa awal, roti adalah makanan yang lekat dengan pengaruh kolonial Belanda. Namun, Sidodadi menjadikannya lebih merakyat. Roti bukan lagi sekadar konsumsi bangsawan atau orang Eropa, melainkan panganan sehari-hari orang Bandung. Dengan harga terjangkau dan resep yang sederhana, roti ini pelan-pelan masuk ke rumah-rumah warga, menjadi bagian dari sarapan, bekal, hingga oleh-oleh.

Di dalam toko, tak ada yang istimewa kecuali kebersamaan. Siapa pun bisa masuk dan berdiri dalam antrean yang sama. Tidak ada jalur khusus, tidak ada prioritas. Seorang pekerja kantoran bisa berdiri di belakang mahasiswa, seorang wisatawan bisa bergantian dengan tukang ojek, semuanya menunggu giliran dengan sabar.

Di sinilah Sidodadi menjembatani perbedaan. Status sosial seakan luruh di hadapan etalase roti. Setiap orang sibuk memilih isian favoritnya. Makanan, sekali lagi, membuktikan kemampuannya meruntuhkan sekat.

Sidodadi juga merekam wajah Bandung yang khas: kota yang membiarkan modernitas dan tradisi berjalan berdampingan. Di satu sisi, kafe-kafe baru bermunculan dengan tampilan yang serba Instagramable. Di sisi lain, toko tua seperti Sidodadi tetap berdiri tenang, tak tergesa mengikuti zaman. Keduanya hidup berdampingan, saling melengkapi cerita kota.

Shoe footprints

 

Meski bukan perusahaan besar, denyut ekonomi Sidodadi terasa nyata. Setiap hari, dapur roti bekerja tanpa henti—menguleni adonan, memanggang, membungkus, dan melayani pembeli. Dari sana, tercipta lapangan kerja, sekaligus mata rantai ekonomi yang lebih luas; peternak telur, pemasok gula, hingga pedagang kecil di sekitar toko.

Dengan harga yang ramah, Sidodadi menjaga roti tetap menjadi sahabat harian, bukan barang mewah. Sebuah praktik ekonomi kerakyatan yang sering luput dari perhatian, namun setia menopang kehidupan banyak orang.

Bagi pelancong, Sidodadi adalah destinasi. Banyak wisatawan rela meluangkan waktu hanya untuk mengantre. Ada yang ingin membuktikan cerita orang tuanya tentang roti legendaris, ada pula yang sekadar penasaran mengapa toko sederhana ini begitu digandrungi.

Bungkus plastik putih dengan cetakan merah kini menjadi ikon tersendiri. Saat melihat orang membawa bungkusan itu, kita tahu bahwa mereka baru saja pulang dari Sidodadi. Bungkus itu seperti paspor kuliner, tanda bahwa perjalanan ke Bandung sudah lengkap.

Wisata kuliner bukan hanya soal rasa, tapi juga pengalaman. Dan pengalaman antre di toko tua, menyelip di antara ramainya pembeli, lalu keluar sambil memeluk bungkusan roti hangat—itulah yang membuat Sidodadi tak tergantikan.

Shoe footprints

 

roti sidodadi dengan bungkus khasnya
Plastik putih, cetakan merah dan rasa roti yang tak lekang waktu.

Ada pelajaran sunyi yang ditawarkan Sidodadi yaitu kesetiaan pada kesederhanaan. Toko ini tidak tergoda untuk mengubah diri, tidak terjebak pada tren. Justru karena itu ia bertahan. Di zaman ketika segalanya bergerak cepat, manusia tetap mencari sesuatu yang bisa dipercaya—sesuatu yang tak mudah berubah. Sidodadi menjawab kerinduan itu.

Saat menggigit roti isi cokelat, waktu terasa melambat. Saya kembali menjadi anak kecil, duduk tenang, menikmati roti yang baru dibeli mama. Di momen itu saya sadar, roti ini bukan hanya makanan, melainkan pintu menuju kenangan.[yk]

 

 

“Ada roti yang sekadar mengisi perut, ada roti yang mengisi jiwa. Sidodadi adalah roti yang kedua. Ia lahir dari harapan, tumbuh dengan kesetiaan, dan terus hidup di hati banyak orang. Sido dadi—jadi, dan akan terus jadi.”

—Sepatualang—





0 comments:

Post a Comment