Pantai Puruih Padang, Jejak Sejarah di Tepi Samudera_ Edisi Samayo
![]() |
| Ikon kota Padang, tempat rindu dan senja bertemu. |
“Berpetualanglah
sejauh mata memandang, mengayuhlah sejauh lautan terbentang, bergurulah sejauh
alam terkembang.”
—Ahmad Fuadi—
Kalau ada yang tanya,
“Pantai apa yang paling gampang dicari di Padang?” Jawabannya jelas Pantai
Puruih. Tinggal jalan kaki sedikit dari pusat kota, ikuti arah ke laut, dan
begitu melihat tulisan besar “PADANG” yang menghadap Samudra Hindia—nah, itulah
dia. Tempat ini bukan sekadar pantai, tapi ruang hidup orang Padang, tempat
sejarah, ekonomi, budaya, dan wisata saling bertemu.
“Angin asin ini berbeda ya,” gumam Yunis ketika kami melangkah keluar dari mobil, sore itu. Aku—Samayo, sepatu putih lembut dengan gradasi kuning keabuan—menjejakkan solku pada tepian Samudra Hindia.
“Ini Pantai Puruih. Ikon
wisata Padang. Tempat semua orang ingin melihat senja,” lanjut Yunis tanpa
melepas pandang.
Aku menoleh (jika sepatu
bisa menoleh), tapi percayalah aku ikut menatap ke depan. Di hadapan kami,
terbentang huruf raksasa “PADANG” menjulang tegas. Latar belakangnya laut biru
tua yang berderu, seolah berkata, Selamat datang di halaman depan kota
Padang.
Tak banyak yang tahu,
nama Puruih diyakini berasal dari kata peruik atau periuk. Bentuk teluk kecil
di kawasan pantai ini konon menyerupai wadah bulat yang biasa digunakan orang
Minang memasak. Nama itu melekat, lalu diucapkan dengan lidah Minang menjadi
“Puruih”. Di masa lampau, Puruih dikenal sebagai titik kumpul nelayan. Perahu
kayu tradisional berangkat dari sini, menyusuri samudra luas. Hasil tangkapan
ikan segar dibawa ke pasar raya, sebagian lagi jadi lauk keluarga. Riuhnya
suara pedagang, bau asin laut bercampur aroma ikan panggang, semuanya pernah
hidup di kawasan ini.
Puruih adalah wajah lama
Padang yang terus berganti rupa. Dari dermaga kecil, pasar ikan, hingga kini
menjadi ruang publik modern. Tetapi denyut sejarah itu tetap terasa jika kita
duduk diam di tepi ombak dan membiarkan imajinasi berlayar ke masa lalu.
Kalau pagi, pantai ini
jadi arena olahraga. Ada yang jogging, bersepeda, bahkan main skateboard
di pedestrian yang cukup lebar. Anak-anak kecil biasanya asyik bermain bola
atau kejar-kejaran di pasir, sementara orang tua menikmati udara segar sambil
sesekali melirik laut.
Siang hari, pantai agak
sepi. Tapi begitu sore menjelang, suasananya berubah total. Wisatawan, warga
kota, bahkan perantau yang pulang kampung, semua tumpah ruah di sini. Mereka
duduk menunggu momen paling ditunggu, senja di Pantai Puruih. Percayalah, kalau
matahari sudah turun ke garis laut, langit Padang jadi kanvas raksasa warna
jingga dan merah. Ombak berkilau keemasan, burung camar melintas, dan
kamera-kamera segera berbunyi. Banyak orang rela datang jauh-jauh hanya untuk
foto dengan latar senja di sini.
Bagi urang awak, pantai
ini bukan sekadar destinasi wisata, tapi ruang basamo—tempat berkumpul
tanpa batas. Filosofi Minang, “duduak samo randah, tagak samo tinggi”,
benar-benar terasa. Dari keluarga, remaja, hingga pedagang kecil, semua menyatu
dalam satu ruang publik.
![]() |
| Ombak Puruih saksi perjalanan laut dan cerita tanpa henti. |
Puruih juga menjadi
panggung budaya. Kadang ada musisi jalanan yang menyanyikan lagu Minang dengan
gitar sederhana, menebar harmoni di antara deru ombak. Sesekali terdengar suara
saluang (seruling tradisional), mengalun lirih dan menambah romantisme
sore. Di momen tertentu, pantai ini menjadi tempat tradisi balimau—tradisi
Minangkabau membersihkan diri dengan mandi jeruk limau menjelang Ramadan,
melambangkan penyucian lahir dan batin sebelum memasuki bulan penuh berkah.
Pada waktu ini pun, masyarakat berkumpul mandi bersama di laut. Riuh tawa,
siraman air asin, dan doa yang dipanjatkan—semuanya menjadi bagian dari warisan
budaya yang masih terjaga.
Festival rakyat pun kerap
digelar di sini. Dari lomba layang-layang, pertunjukan randai (teater
tradisional Minang), hingga musik talempong yang bertalu-talu di udara senja.
Semua itu menegaskan bahwa Puruih bukan hanya tentang laut, tapi juga tentang
warisan budaya Minangkabau yang tak pernah padam.
Tak bisa dipungkiri,
pariwisata di Pantai Puruih ikut menggerakkan ekonomi warga. Banyak pedagang
kecil mengandalkan rezeki dari pengunjung. Mulai dari penjual jagung bakar,
sate Padang, mie rebus, minuman segar, sampai penyewaan wahana permainan anak.
Saat malam tiba, pantai
berubah jadi pasar kuliner terbuka. Lampu-lampu berderet, meja plastik
berjejer, dan aroma makanan membangkitkan selera. Ada jagung manis dibakar
perlahan, sate Padang dengan kuah kental kuning kemerahan, hingga es tebak yang
manis segar.
Tak hanya pedagang,
hotel-hotel di sekitar pantai pun berkembang. Jasa transportasi wisata
bertambah. Pemerintah Kota Padang rutin mempercantik kawasan ini semisal;
membangun jalur pedestrian, memperindah taman, hingga memperkuat pemecah ombak.
Semua demi satu tujuan menjadikan Puruih sebagai ikon wisata Padang yang
membanggakan.
![]() |
| Dari Puruih, jejak samudra menghubungkan Padang dengan dunia, |
Ada satu penanda penting
di kawasan ini yaitu tugu Indian Ocean Rim Association (IORA). IORA adalah
organisasi negara-negara yang berada di tepi Samudra Hindia. Dengan adanya tugu
itu, seolah-olah Padang sedang berkata: “Hei dunia, jangan lupa, kami bagian
penting dari jalur samudra internasional.”
Puruih memang strategis.
Dari sini, wisatawan bisa menyeberang ke pulau-pulau eksotis seperti; Pulau
Sikuai, Pulau Pasumpahan, Pulau Pagang, hingga pulau-pulau kecil yang berpasir
putih. Nelayan lokal sering menawarkan perahu, membawa wisatawan berpetualang
ke pulau-pulau itu. Berdiri di Puruih, aku merasa seperti berada di halaman
depan Samudra Hindia. Ombak yang gagah, langit yang luas, dan hiruk pikuk
manusia yang selalu hidup di sekitarnya membuat pantai ini lebih dari sekadar
tempat liburan.
Namun, tak bisa
dipungkiri, Pantai Puruih juga menghadapi tantangan. Sampah plastik kadang
masih terlihat berserakan, terutama saat akhir pekan. Ombak besar pun kerap
merusak fasilitas. Pemerintah dan masyarakat kini bahu membahu merawat pantai
ini, agar tetap indah dan lestari. Sejumlah komunitas pecinta lingkungan sering
mengadakan aksi bersih pantai. Sekolah-sekolah juga membawa muridnya untuk
belajar tentang ekologi laut di sini. Semua itu menumbuhkan harapan, bahwa
Puruih tak hanya jadi tempat hiburan, tapi juga ruang edukasi dan konservasi.
![]() |
| Halaman depan Samudra Hindia, inilah wajah Puruih yang gagah dan hangat. |
Pantai Puruih adalah
wajah Padang. Tempat laut, sejarah, budaya, ekonomi, dan pariwisata bertemu. Jika
anda berkunjung ke Padang, jangan hanya makan randang atau singgah ke Jam
Gadang. Datanglah ke Puruih. Duduklah di tepi pasirnya saat senja, dengarkan
desau angin asin laut, dan biarkan dirimu larut dalam bisikan ombak yang
membawa cerita panjang Minangkabau.
Bagi kami, menjejak di
Puruih adalah seperti membuka lembaran buku besar; ada bab sejarah, bab budaya,
bab ekonomi, dan bab kehidupan sehari-hari. Semuanya menyatu dalam satu halaman
bernama Padang. Dan setiap kali ombak pecah di bibir pantai, kami merasa Puruih
berbisik; “Selama laut masih bernafas, selama ombak masih berlari, cerita
ini takkan pernah habis ditulis.”[yk]
“Di Puruih, aku
menemukan bahwa senja tak pernah sekadar tentang matahari yang tenggelam, tapi
tentang hati yang belajar menerima
bahwa segala indah
pun akhirnya harus berpulang.”
—Sepatualang—















0 comments:
Post a Comment