Monumen Korban Gempa Padang: Mengingat Tragedi, Menguatkan Kota_ Edisi Samayo
![]() |
| Monumen tampak depan, batu hitam dengan mata menangis sebagai simbol pengingat duka. |
“Setiap gempa
bukan hanya mengguncang bumi,
tetapi juga hati
manusia agar kembali ingat padaNya.”
— Pepatah Minang—
Hari itu, langkahku
terhenti di sebuah sudut kota Padang. Di sana, sebuah batu hitam besar berdiri
tegak, dipahat rapi dengan tulisan emas: “Monumen Korban Gempa 30 September
2009.” Dua mata tergambar di atasnya, meneteskan air mata yang seolah tak
pernah kering. Tatapan sendu itu seperti mengisyaratkan luka mendalam yang
pernah mengguncang ranah Minang.
Monumen ini bukan sekadar
tugu, ia adalah penanda duka, pengingat bahwa pada 30 September 2009, bumi di
bawah kaki urang awak pernah berguncang hebat. Gempa bermagnitudo 7,6 SR
kala itu meluluhlantakkan Padang dan sekitarnya. Bangunan runtuh, jalanan
terbelah, dan lebih dari seribu jiwa melayang. Ribuan lainnya luka-luka,
sementara rumah, sekolah, hingga gedung-gedung perkantoran berubah menjadi
puing. Kota Padang yang biasanya hiruk pikuk dengan dagang, pasar, dan pelajar,
mendadak sunyi oleh jerit tangis kehilangan.
![]() |
| Nama-nama korban yang diabdikan dengan tinta emas pada tugu peringatan. |
Dari cerita orang-orang tua di warung kopi sore itu,
sekitar pukul 17.16 WIB, Padang baru saja selesai dengan rutinitas hari. Anak
sekolah baru pulang, sebagian sudah bersiap mengaji di surau, sementara
pedagang tengah melayani pembeli menjelang malam. Tiba-tiba bumi bergetar.
Awalnya hanya pelan, tapi lalu semakin kencang. Orang-orang berlarian,
berteriak, sebagian bahkan tak sempat menyelamatkan diri ketika tembok beton
dan atap baja runtuh.
Pasar Raya Padang luluh
lantak, hotel dan rumah sakit porak-poranda, jalan-jalan penuh dengan debu dan
teriakan minta tolong. Gempa itu tak hanya merobohkan bangunan, tapi juga
menguji jiwa-jiwa yang bertahan.
Monumen ini berdiri di
salah satu sudut kota, bukan hanya untuk memperingati mereka yang berpulang,
tetapi juga untuk mengabadikan keteguhan masyarakat Minangkabau dalam
menghadapi bencana. Pada batu prasasti itu tertulis nama-nama korban, seolah
setiap huruf adalah doa yang dipahatkan agar tak hilang ditelan waktu.
Bagi urang awak,
gempa itu bukan sekadar bencana alam. Ia jadi titik balik, menyatukan kembali
ikatan sosial yang sempat renggang. Surau, masjid, dan lapau-lapau
menjadi tempat orang saling menguatkan. Mereka yang kehilangan rumah ditampung
oleh keluarga besar atau tetangga, sebab dalam adat Minang, dunsanak tak
pernah dibiarkan sendiri.
Gotong royong kembali
hidup. Orang bergiliran membantu membersihkan puing, mendirikan tenda darurat,
dan membagi makanan. Kaum ibu menanak nasi untuk korban di posko, sementara
anak muda bahu-membahu menyalurkan bantuan. Dari luar negeri hingga pelosok nusantara,
bantuan mengalir deras. Padang kala itu bukan hanya milik urang awak, tapi
milik semua yang peduli kemanusiaan.
Namun, di balik itu
semua, ada trauma yang dalam. Anak-anak takut masuk sekolah berlantai dua,
orang dewasa selalu waspada bila bumi sedikit bergetar. Tapi lambat laun,
kehidupan terus berjalan. Pasar Raya kembali dibangun, sekolah-sekolah berdiri
lagi, dan masyarakat belajar bahwa di tanah rawan gempa ini, kesiapsiagaan
adalah bagian dari budaya hidup.
![]() |
| Di tempat ini, duka berubah jadi pengingat. |
Monumen Korban Gempa 30
September 2009 diresmikan setahun kemudian, pada 30 September 2010. Andreas
Sofiandi, Ketua Himpunan Bersatu Teguh, menjadi penggagasnya. Sementara
Walikota Padang saat itu, Dr. H. Fauzi Bahar, meresmikannya. Letaknya
strategis, di ruang publik yang mudah dijangkau, agar siapa pun yang melintas
bisa berhenti sejenak, membaca, dan merenung.
Aku berdiri di hadapan
monumen ini merasa seakan mendengar bisikan duka dari masa lalu. Dua mata yang
dipahat di batu hitam itu seolah berkata: “Jangan lupa. Dari reruntuhan ini
kita belajar, dari kehilangan ini kita bangkit.” Setiap nama yang terukir
di prasasti adalah kisah, setiap tetesan air mata yang digambarkan adalah saksi
sejarah.
Lima belas tahun sudah
berlalu, tapi monumen ini tetap berdiri kokoh. Masyarakat Padang menjadikannya
sebagai ruang kenangan sekaligus ruang pendidikan. Sekolah-sekolah sering
mengajak muridnya datang ke sini, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk
belajar tentang pentingnya kesiapan menghadapi bencana.
Bagi sebagian orang,
monumen ini adalah tempat menaruh bunga dan doa untuk kerabat yang tak kembali.
Bagi yang lain, ia adalah pengingat agar pembangunan kota memperhatikan
keselamatan. Dan bagiku, monumen ini adalah cermin bahwa di balik setiap
bencana, selalu ada kekuatan yang menyatukan.
Padang hari ini memang
telah kembali ramai. Jalanan macet oleh kendaraan, gedung-gedung baru berdiri,
dan generasi muda bercita-cita besar. Tapi monumen ini memastikan bahwa kota
ini tak akan pernah melupakan luka yang pernah dialami. Seperti pepatah Minang:
“Lah hilang satitiak, datang nan sabalunyo; lah ilang sabingkah, tumbuah nan
sabalunyo.” Kehidupan memang harus terus berjalan, tapi kenangan tetap
terjaga.
![]() |
| Suasana di lokasi Monumen Korban Gempa yang berada di pusat kota. |
Angin sore Padang
berhembus pelan, dedaunan bergoyang, dan di tengah hiruk pikuk kota, monumen
itu tetap sunyi, menyimpan doa dan cerita. Monumen Korban Gempa 30 September
2009 bukan sekadar prasasti, melainkan saksi bisu betapa rapuh sekaligus
kuatnya manusia. Rapuh karena mudah runtuh ketika bumi berguncang, kuat karena
selalu mampu bangkit dan bersatu.
Dan di sanalah, di balik
mata yang meneteskan air mata batu itu, Padang belajar untuk selalu tegar.
"Dari
reruntuhan kita belajar berdiri, dari kehilangan kita belajar menghargai,
dan dari bencana kita belajar menjadi
kuat."
— Sepatualang—















0 comments:
Post a Comment