Mengenang Pahlawan di Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma_ Edisi Samayo
![]() |
| Pesawat tempur tua yang menjadi daya tarik visual museum dari jalan raya. |
"Setiap kota
punya kisah, tapi Bukittinggi menyimpannya bukan di buku—melainkan di udara
sejuk, di dinding tua, dan di museum yang berbisik tentang perjuangan."
—Sepatualang—
Bukittinggi selalu punya
cara sendiri untuk menyapa para pejalan. Di antara udara sejuknya yang menempel
di kulit, jalanan berbatu yang menanjak, serta keramaian Pasar Atas yang tak
pernah benar-benar tidur, kota ini memeluk sejarah panjang Indonesia. Kalau
Padang dikenal dengan sambal lado ijonya yang pedas menusuk, maka Bukittinggi
lebih mirip arsip terbuka—setiap sudutnya menyimpan potongan kisah bangsa.
Di tengah hiruk pikuk Jam
Gadang yang jadi ikon, ada satu bangunan sederhana yang kerap terlewatkan mata
wisatawan. Namanya Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma. Berlokasi di
Jalan Panorama No. 56, tidak jauh dari Ngarai Sianok yang tersohor itu. Dari
luar, museum ini tampak seperti rumah kolonial biasa, berpagar hijau, dengan
bendera merah putih yang berkibar di halaman. Tapi begitu melangkah masuk, kita
seolah sedang mengunjungi lembar-lembar awal perjalanan bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan.
Nama museum ini unik, Tri
Daya Eka Dharma. Kata “Tri” berarti tiga, “Daya” berarti kekuatan, dan “Eka
Dharma” bisa diterjemahkan sebagai satu pengabdian. Filosofinya, perjuangan
rakyat Minangkabau di masa revolusi memiliki tiga kekuatan utama yaitu semangat
rakyat, kekuatan pemuda, dan tekad pejuang bersenjata, yang semuanya berpadu
dalam satu pengabdian untuk kemerdekaan Indonesia.
Museum ini diresmikan
pada 16 Agustus 1973 oleh Dr. Mohammad Hatta, Proklamator sekaligus Wakil
Presiden pertama Republik Indonesia. Sebuah momen simbolis, karena Bung Hatta
sendiri lahir di Bukittinggi. Seakan ia pulang ke kampung halaman untuk memberi
penghormatan pada para pejuang yang turut mengobarkan api merdeka.
![]() |
| Ruang pameran museum yang menggetarkan hati. |
Begitu masuk ke dalam
ruang pameran, suasana langsung berubah. Ruangan sederhana dengan lantai
keramik merah itu menyimpan berbagai koleksi yang diam-diam menggetarkan hati.
Ada senjata-senjata tua peninggalan perang, mortir, senapan laras panjang,
hingga senjata rakitan yang digunakan laskar rakyat. Semua itu bukan sekadar
besi tua, melainkan saksi bisu betapa getirnya perjuangan di masa revolusi
fisik 1945–1949.
![]() |
| Salah satu foto koleksi Museum yang memuat para pejuang muda Bukittinggi. |
Di dinding, foto-foto hitam putih berjajar rapi. Ada potret rapat-rapat akbar, arak-arakan rakyat yang memenuhi lapangan, hingga wajah-wajah pejuang muda yang mungkin usianya tak jauh berbeda dengan mahasiswa sekarang. Di sudut lain, terdapat dokumentasi pertempuran di sekitar Bukittinggi, saat kota ini menjadi salah satu basis perlawanan terhadap Belanda.
Koleksi lain berupa
lukisan, diorama, hingga bendera dan perlengkapan militer yang pernah
digunakan. Dari situlah kita paham bahwa perjuangan bukan hanya tentang
senjata, tapi juga tentang kebersamaan, strategi, dan semangat untuk
mempertahankan harga diri sebagai bangsa.

Berbagai koleksi senjata yang dipamerkan di ruang museum.
Mengunjungi museum ini
membuat kami sadar, bahwa Bukittinggi memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kemerdekaan Indonesia. Kota kecil di jantung Sumatra Barat ini pernah menjadi
ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1948–1949, ketika
Yogyakarta diduduki Belanda. Dari sinilah Indonesia tetap diakui eksistensinya
di dunia internasional.
Kultur Minangkabau yang
egaliter, dengan sistem adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,
ternyata ikut membentuk karakter pejuang yang keras kepala dalam mempertahankan
kedaulatan. Tidak heran jika banyak tokoh nasional lahir dari ranah ini, dari
Mohammad Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, sampai Buya Hamka.
Museum Perjuangan Tri
Daya Eka Dharma menjadi salah satu pengingat bahwa semangat itu nyata. Bukan
dongeng, bukan sekadar catatan di buku sejarah, tapi pernah hidup di jalanan
yang kini kita lalui dengan santai sambil menyeruput teh talua.
Namun, harus diakui,
museum ini tidak seramai destinasi wisata lain di Bukittinggi. Wisatawan lebih
banyak menghabiskan waktu di Jam Gadang, Lubang Japang, atau panorama Ngarai
Sianok. Museum ini sering terlihat sepi, kadang hanya dikunjungi rombongan
sekolah atau peneliti sejarah.
Dikelola oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, museum ini berfungsi sebagai pusat
edukasi sejarah perjuangan. Meski koleksi di dalamnya masih terjaga, kondisi
fisik bangunan sebenarnya butuh perawatan lebih. Cat dinding mulai kusam, papan
informasi sudah agak usang, dan pencahayaan di beberapa ruangan membuat suasana
terasa sangat sendu.
Di halaman depan, sebuah
pesawat tempur tua terpajang, menjadi daya tarik visual bagi siapa pun yang
lewat. Anak-anak kadang berhenti sejenak, mengintip dari pagar. Tapi
selebihnya, museum ini seperti terjebak dalam kesunyian yang panjang.
Yunis merasakan hal aneh
ketika duduk sebentar di kursi panjang di depan museum. Ada rasa sepi, tapi
juga rasa hormat. Seolah-olah para pejuang yang foto-fotonya terpajang di
dinding sedang menatap balik, memberi pesan diam; “Kami sudah berjuang
dengan darah dan air mata. Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk bangsamu hari
ini?”
Pertanyaan itu sederhana
tapi berat. Kadang kita lupa, kemerdekaan yang kita nikmati—bebas jalan-jalan,
bebas menulis catatan perjalanan seperti ini—semuanya adalah hasil dari
perjuangan kolektif yang panjang. Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma mungkin
tampak sederhana, bahkan usang. Tapi justru di sanalah letak kekuatannya, ia
hadir sebagai ruang kontemplasi, bukan sekadar tontonan wisata.
Perjalanan ke Bukittinggi
tidak lengkap tanpa mampir ke museum ini. Mungkin tidak ada spot
Instagramable seperti di Jam Gadang, tidak ada sensasi adrenalin seperti
turun ke Lubang Japang atau berlarian di sungai yang membelah Ngarai Sianok,
tapi di sinilah kita bisa merasakan denyut asli sejarah.
Kami percaya, museum
bukan sekadar ruang penuh benda mati. Ia adalah jendela untuk melihat masa
lalu, cermin untuk menilai masa kini, sekaligus peta untuk menentukan arah masa
depan. Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma berdiri sebagai pengingat, bahwa
bangsa ini pernah digerakkan oleh tiga daya dalam satu pengabdian; semangat
rakyat, pemuda, dan pejuang.
Dan ketika kami berdiri
di halaman museum, menatap bendera merah putih yang berkibar di tiang, kami
sadar bahwa pengabdian itu belum selesai. Setiap generasi punya tugasnya
masing-masing.[yk]
"Ketika
melangkah keluar dari museum, saya sadar:
perjuangan
terbesar hari ini bukan lagi mengusir penjajah, melainkan mengusir lupa."
—Sepatualang—














0 comments:
Post a Comment