Serangkai Kenangan Tentang Ranca Upas Ciwidey_ Edisi Leona
Leona dan jalan setapak menuju Leuweung Tengah |
Ranca Upas.
Menyeretku pada rangkaian kenangan. Usiaku baru menginjak pubertas, sekitar
belasan dan duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kenangan
menghabiskan liburan akhir tahun ajaran bersama para kawan karib SMP kala itu,
yang merupakan jenis euforia kelulusan dan perpisahan sekolah. Lalu setelahnya
–sekitar kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA), untuk alasan yang tidak jelas,
aku rutin menghabiskan akhir minggu di Ranca Upas. Seingatku, selalu Sabtu sore
aku tiba di lokasi. Lalu berkeliling mengitari Leuweung Tengah hingga cahaya
senja surut, kemudian akan menghabiskan sepanjang malam di sebuah warung hingga
pagi tiba. Usai sarapan dan berendam di pemandian air hangat, Minggu siangnya
aku pulang kembali ke Bandung. Kurasa, begitulah aku banyak menghabiskan akhir
minggu tahun ke 2 di SMA. Karena kemudian, masuk kelas 3 SMA rutinitas itu
berhenti dengan alasan yang tidak aku ingat.
Aku baru
kembali ke Ranca Upas –lagilagi, ketika euforia kelulusan. Hal yang sama adalah
bahwa aku justru melewati euforia ini bersama kawan karib semasa SMP. Bukan
bersama kawan karib di SMA. Bedanya, kali ini aku bertemu dengan seseorang yang
kemudian menjadi kekasih untuk jangka waktu yang lama. Hingga 3 tahun pertama
aku mengenyam bangku kuliah. Dia juga influence-ku untuk masuk himpunan
mahasiswa pencinta alam (HIMAPA) di kampusku Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung yang bernama ARGA WILIS. STSI, yang sekarang berganti nama
menjadi Institute Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Leona :
Yunis!! Hentikan! Ceritakan tentang aku saja...
Yunis : Kamu
saja yang cerita...
Leona :
Baiklah... (menimbang dan mungkin –bersungut dengan mimik lucu)
Dengan
semangat mahasiswa baru, Yunis begitu bangga mendaftar untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan menjadi anggota muda HIMAPA Arga Wilis. Dengan tekad
bulat untuk mengikuti jejak sang kekasih –influence kan? Yunis memantapkan niat
dan tekadnya mencintai dan menjadi bagian alam. Pokoknya intinya Yunis berhasil
mengikuti serangkaian pendidikan dan penyaringan menjadi anggota muda Arga
Wilis, yang prosesnya berlangsung di Ranca Upas, bukitbukit dan pegunungan di
wilayah Ciwidey. Seperti; Leuweung Tengah, Gunung Tilu, dan lainnya. Lalu,
dengan gagah feminimnya Yunis mulai melakukan pengembaraan demi pengembaraan
demi mendapatkan legalitas anggota tetap Arga Wilis.
Nah, di
sinilah. Suatu hari, setelah Yunis menjadi anggota Tetap dan pada tahun
berikutnya Yunis menjadi senior angkatan, Yunis bertemu aku. Seorang Junior
(baca : angkatan muda/syal hijau), menawarkan aku pada Yunis. Dengan alasan;
bahwa aku adalah jenis sepatu gunung untuk perempuan, tapi kurasa itu hanya
modus karena sang junior perlu uang. Ups! Singkat cerita dengan diakhiri sebuah
kesepakatan, akhirnya aku berpindah tangan. Aku cukup senang bersama Yunis,
karena nampaknya dia menyukai aku. Sebagai bukti, aku selalu menemaninya dalam
rutinitas harian kampusnya, bukan hanya ketika naik gunung atau melakukan
perjalanan. Bahkan kami sudah pernah merasakan udara gunung Semeru dan udara gunung
Rinjani. Keren kan?!
Namun ini
tentang Ranca Upas...
Barangkali
kebersamaan kami tidak diawali ketika masa remajanya, yang kukira cukup banyak
perubahan terjadi di Ranca Upas. Jika dalam kenangan Yunis masa remaja-kuliah,
Ranca Upas bukanlah objek wisata yang di-ekspos (kalaupun tidak
di-eksploitasi), namun seiring berjalannya waktu, Ranca Upas harus beradaptasi.
Ranca Upas harus mau menerima perubahan agar tetap “hidup” dan “menghidupi”.
Ranca Upas,
merupakan sebuah tempat wisata dengan kontur pegunungan yang mengitarinya
beserta objek wisata lain bernama Kawah Putih. Terletak di Bandung Selatan,
sekitar 2 jam perjalanan dari kota Bandung –jika kondisi lalu lintas lancar. Ada
2 alternatif jalan yang bisa dilalui. Pertama, kita bisa melalui jalur padat
kota Bandung melalui daerah Kopo, Soreang lalu Ciwidey. Kedua, kita bisa
melalui jalan yang juga padat dari kota Bandung melalui Dayeuh Kolot, Banjaran,
lalu Soreang dan Ciwidey. Keduanya samasama memiliki jalur kepadatan yang tidak
bisa diprediksi. Jujur saja, Bandung dan kotakota kabupaten sekitarnya tidak
ada yang tidak macet. Kepadatan penduduk setiap tahun meningkat. Jadi jujur
saja, pilihannya tinggal meningkatkan kesabaran.
Ranca Upas –pada
awalnya, sebenarnya di-desain hanya sebagai bumi perkemahan. Tidak ada
kolamkolam air hangat untuk berenang. Warungwarung berjejer sederhana hanya
beberapa meter saja dari jalan utama. Pemandian air hangat hanya berupa
gubukgubuk sederhana berukuran kecil yang terbuat dari bilik (lembaran bambu
tipis yang dijalin sedemikian rupa). Tidak tercium aroma kemewahan atau
ekslusif sedikitpun. Bungabunga bakung putih berkembang sepanjang musim
berjejer di kiri-kanan jalan yang kadangkadang berlubang, bahkan sebagian masih
tanah. Lalu kolamkolam yang lebih sering dipenuhi bunga teratai menjadi
pemandangan yang tak kalah menakjubkan.
Kolamkolam
yang dipenuhi oleh bunga teratai, kini berganti dengan kolamkolam pemandian/renang
yang dikhususkan untuk wisata keluarga. Pemandian air hangat sederhana yang
bermetaformosa menjadi kolamkolam renang dengan bangunan permanen dengan
berbagai permainan kekinian. Penangkaran rusa dengan jalur khusus melintasi
penangkaran, agar para wisatawan bisa melihat lebih dekat. Jalur yang terbuat
dari kayukayu menyerupai gang
bertingkat, membuat para wisatawan bisa lebih leluasa mengamati rusarusa dari
dekat ataupun sekadar mengambil dokumentasi foto dengan latar pegunungan dan
rusarusa.
Kolamkolam teratai yang kini menjadi kolamkolam renang untuk keluarga |
Perubahan
bukan hal yang buruk. Dalam hal ini Ranca Upas tetap wajah yang sama dengan
kemasan yang berbeda. Bumi perkemahan dengan riasan yang lebih “manusiawi”
untuk wisata keluarga. Tetap dengan magnet udara dingin, air hangat alami dari
pegunungan, bunga rawa abadinya, rusarusa dan sederetan gununggunung yang
memagari bumi perkemahan Ranca Upas. Barangkali kenangan versi Yunis telah
berubah. Ranca Upas tetaplah Ranca Upas, cantik dan misterius.yk[]
1 comments:
Aku kok sedih bacanya ya, Sis. Memang gak pernah ada yang tetap di bumi ini :'(
Post a Comment