Kopi Klotok Jogja; Hangat di Antara Pisang Goreng dan Percakapan Malam_ Edisi Penikmat Kopi

 

kopi klotok jogja
Kopi Klotok, kenikmatan khas Jogja.


"Hidup yang baik itu sederhana: secangkir kopi, pisang goreng panas,

dan percakapan yang tak tergesa."

—Sepatualang—

 

 

 

Sore itu Jogja merunduk perlahan di bawah langit jingga. Angin dari utara membawa dingin yang turun pelan dari lereng Merapi. Mas Iqbal—pemandu yang menemani kami hari itu—mengusulkan agar malam ditutup dengan santap sederhana; ngopi santai di kawasan Kaliurang. Dengan semangat khas orang Jogja, ia bercerita bahwa tempat yang akan kami tuju kerap jadi persinggahan para pemburu kuliner dan pencinta kopi, terutama pelancong yang ingin merasakan sisi Jogja yang lebih bersahaja.

Jangan bayangkan kopi mahal dengan mesin berkilau atau menu western berharga tinggi. Tempat ini justru menawarkan wajah pedesaan sederhana, apa adanya, dan terasa hidup. Jika siang hari, pemandangannya bersisian dengan sawah. Warung itu bernama Kopi Klotok.

Shoe footprints

 

kopi klotok jogja
Dapur Kopi Klotok tempat kopi, pisang goreng, dan cerita dimasak bersamaan.

Dari luar, bangunannya tampak biasa saja—joglo kayu dengan dinding sederhana, dihiasi gantungan pisang yang bergerombol di beberapa sudut. Namun begitu kaki melangkah masuk, aroma khas langsung menyergap; kopi tubruk panas, pisang goreng renyah, dan asap wajan yang seolah tak pernah benar-benar padam. Aku duduk di kursi kayu panjang, menempelkan telapak tangan ke meja yang licin oleh waktu dan ribuan cerita.

Segelas kopi klotok terhidang di depanku. Kopi hitam dibanderol Rp5.000, kopi susu Rp7.500—harga minuman, lauk pauk, hingga paket makan lainnya pun ramah di kantong. Kesederhanaan yang jujur.

Nama “kopi klotok” sendiri terdengar unik. Konon, ia lahir dari bunyi air mendidih di ketel tradisional: klotok-klotok-klotok, suara yang terdengar sebelum air benar-benar masak. Di Jogja, istilah itu kemudian melekat untuk menyebut kopi tubruk yang diseduh dengan cara lama.

Seorang bapak di meja sebelah tersenyum, lalu berkata pelan, “Kopi klotok itu bukan sekadar minum kopi, Nak. Ini cara orang Jogja menikmati kopi. Dari bunyi air mendidihnya, dari wangi bubuk kopi yang direbus langsung di ketel. Rasanya jadi beda.”

Aku mengangguk sambil menyeruput perlahan. Rasanya pekat, getir, sekaligus menenangkan. Tak ada mesin espresso, tak ada latte art. Hanya kopi hitam dalam gelas kaca sederhana. Inilah Jogja—kota yang memilih mendidih perlahan, menolak gegas.

Shoe footprints


kopi klotok jogja
Sabar menunggu giliran demi telur dadar krispi.


Warung Kopi Klotok berada di kawasan Pakem, Kaliurang, sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Jogja. Mulanya, ia hanyalah tempat singgah sederhana. Namun sejak awal 2000-an, popularitasnya menanjak, seiring konsistensi mereka merawat atmosfer tradisional yang kian langka.


menu makan khas kopi klotok jogja
Menu andalan Kopi Klotok yang anti gagal.


Menu yang disajikan pun bukan sekadar kopi. Ada sayur lodeh, tempe goreng, telur dadar krispi berukuran besar, pisang goreng, hingga jadah—makanan rumahan khas Jawa yang dihidangkan secara prasmanan. Rasanya seperti pulang ke dapur nenek yang akrab, murah, dan tak dibuat-buat. Tak heran Mas Iqbal begitu bersemangat mengajak kami kemari. Sementara itu, Icky dan Jemmy sudah lebih dulu sibuk mengisi piring dengan nasi dan lauk pilihannya.

Wisatawan lokal maupun mancanegara silih berganti datang, terlebih setelah media sosial ramai menyinggungnya. Namun meski popularitas meningkat, suasana warung tetap dijaga; kayu tua, lampu temaram, dan bunyi kompor berpadu dengan percakapan pengunjung yang bersahut-sahutan.

Shoe footprints

 

Kopi Klotok bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah cermin budaya Jogja yang menjunjung kesederhanaan dan kebersamaan. Di sini, mahasiswa, seniman, keluarga, turis asing, hingga pejabat duduk semeja tanpa sekat. Semua setara.

Seorang ibu paruh baya di dapur sempat berujar ketika kutanya apakah ada tempat duduk khusus. “Mba, di sini semua sama. Mau datang naik mobil mewah atau motor butut, kalau sudah masuk ya duduknya sama. Makannya prasmanan. Cari tempat kosong saja.”

Nilai egaliter inilah yang membuat Kopi Klotok istimewa. Ia bukan sekadar soal rasa, tetapi ruang sosial yang mempraktikkan filosofi ngayomi—mengayomi siapa saja tanpa memandang latar belakang.

Kehadirannya juga membawa dampak ekonomi nyata bagi warga sekitar. Pisang yang digoreng, sayur yang dimasak, hingga perabot kayu yang digunakan, semua melibatkan tangan-tangan desa. Setiap hari, puluhan kilogram pisang habis. Berkarung-karung beras disulap menjadi nasi hangat. Pedagang kecil di sekitar kawasan pun ikut menikmati rezeki dari ramainya pengunjung.

Kini, Kopi Klotok tak lagi berdiri sendiri. Cabangnya bermunculan di beberapa titik Jogja. Namun cabang Pakem tetap menjadi yang paling ramai—barangkali karena suasananya yang lekat dengan aroma lereng Merapi.

Shoe footprints

 

Kalau hanya ingin kopi, Jogja punya banyak kafe modern. Namun orang datang ke Kopi Klotok bukan semata untuk minum. Mereka datang untuk pengalaman. Di sinilah wisata kuliner bertemu nostalgia. Warungnya terasa seperti rumah nenek di desa, lengkap dengan kipas angin tua, rak kaca berisi toples gula jawa, dan genteng kayu yang menyimpan panas siang hari.

Gelas kopi di depanku tinggal separuh. Pisang goreng baru saja diangkat dari wajan, uapnya masih menari. Aku menggigit perlahan—renyah di luar, lembut di dalam.

Mas Iqbal yang duduk di seberang nyeletuk, “Kopi klotok ini sederhana. Tapi justru itu yang bikin kangen. Ke Jogja rasanya belum lengkap kalau belum ke sini.”

Aku tersenyum. Ada semacam ritual tak tertulis, setiap kembali ke Jogja, Kopi Klotok menjadi check point. Tempat memastikan bahwa Jogja masih setia pada kesederhanaannya. Ia adalah perlawanan halus terhadap arus modernitas yang serba cepat.

Saat kafe-kafe kekinian menjual estetika industrial dan take away coffee, di sini kita diajak duduk lama, menikmati obrolan, dan menghargai waktu. Jogja memang kota yang tahu cara menjaga tempo. Ia tak ingin terburu-buru.

Shoe footprints

 

suasana di dapur kopi klotok jogja
Tangan-tangan yang bekerja, wajan yang tak pernah dingin, dan kopi yang setia menunggu.

Malam semakin larut. Lampu di dapur mulai meredup. Aku meneguk sisa kopi terakhir, lalu meletakkan gelas di piring kecil bermotif bunga lawas. Langkah kakiku bergerak keluar. Dari kejauhan, suara klotok-klotok air mendidih masih terdengar samar. Aku tersenyum.

Kopi Klotok Jogja bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah ruang waktu yang membekukan nostalgia, ruang sosial yang merawat kesetaraan, dan ruang wisata yang menghidupkan ekonomi desa.

Yang terpenting, ia adalah rumah—bagi siapa saja yang merindukan kehangatan sederhana.[yk]

 

 

"Jogja bukan hanya kota. Ia adalah cara duduk pelan-pelan sambil menyeruput kopi klotok, menunggu pisang goreng matang, dan bercakap tanpa batas waktu."

—Sepatualang—




0 comments:

Post a Comment

Tebing Breksi Yogyakarta; Menapak Waktu, Membaca Cerita Batu Purba_ Edisi Samayo

 

Tebing Breksi Yogyakarta dan Samayo
Samayo menepi sejenak di pangkuan batu purba.




“Perjalanan dari suatu penemuan bukan dengan mencari pemandangan baru,

 tetapi dengan memiliki ‘mata baru’.”

—Marcel Proust—

 

 

 

Pemberhentian kami selanjutnya adalah Taman Tebing Breksi, sebuah lanskap yang dulunya hanya berupa bekas penambangan batu alam. Kreativitas orang Indonesia memang tak pernah kehabisan cara. Dengan mata baru, lahan tambang yang dulu penuh debu kini disulap menjadi ruang wisata yang memikat—punya ciri khas, punya cerita.

 

Dari kejauhan, dinding batu raksasa itu menjulang seperti kitab tua yang terbuka separuhnya. Guratannya menyerupai halaman-halaman panjang yang siap dibaca, sekaligus bekas pahatan waktu yang tak pernah selesai menulis. Di sanalah, kisah bermula.

 

Untuk masuk ke kawasan ini, pengunjung dikenai tiket sebesar Rp10.000 per orang, termasuk asuransi Rp500. Parkir motor Rp2.000, sedangkan kendaraan roda empat Rp5.000 tanpa batas waktu, mengikuti jam operasional buka-tutup. Oh ya—siapkan uang kecil. Beberapa spot foto khusus meminta pembayaran sukarela, baik untuk jasa fotografer lokal maupun dekorasi yang digunakan..

Shoe footprints

 

Tiba di gerbang utama Tebing Breksi, rasanya seperti memasuki bab baru. Dari titik ini, rute-rute bercabang seperti paragraf yang menuntun pembaca ke arah yang berbeda. Relief besar bertuliskan “Tebing Breksi” menyapa lebih dulu, disusul tangga-tangga batu kapur yang mengantar pengunjung menuju puncak tebing—titik di mana panorama alam Sleman dan kota Jogja tersaji tanpa batas.

 

wisata tebing breksi
Tangga batu kapur menuju puncak tebing dan spot burung hantu.

Di sepanjang jalur, wahana dan spot foto tersebar seperti tanda baca yang memperkaya cerita. Ada Cowboy Breksi, tempat pengunjung dapat menaiki kuda mengelilingi sisi barat tebing, memilih rute pendek atau panjang. Di sepanjang lintasan itu, banyak titik foto dengan sudut menarik. Ada pula Jeep Wisata/Offroad, layanan populer yang menghubungkan Breksi dengan destinasi sekitar: Candi Ijo, Bukit Teletubbies, hingga desa-desa wisata. Tarif sewanya sudah ditetapkan sesuai durasi, tinggal memilih rute yang paling menggoda.

 

Di salah satu dataran tinggi bernama Watu Tapak Camp Hill, pengunjung bisa berkemah. Dari sini, panorama Jogja dan Prambanan terlihat lebih lapang. Pemandu kami bercerita bahwa titik ini sangat cocok untuk sunrise, sunset, bahkan fotografi malam yang romantis—sayangnya, waktu kami terbatas. Tapi membayangkannya saja sudah menyisakan ruang rindu.

 

spot foto di tebing breksi
Di Breksi setiap foto hidup oleh tawa pengunjung dan bidikan fotografer lokal.

Dengan waktu terbatas, kami pun berburu spot ukiran relief batu. Terdapat relief wayang, ukiran naga, dan pahatan-pahatan dekoratif lain yang menjadi latar foto favorit karena artistik, tegas, tampak seperti karya seni yang bernegosiasi dengan waktu.

 

Ada pula spot burung hantu, ya—burung hantu sungguhan. Jinak, lucu, dan siap diajak berfoto. Kami tidak terlalu paham jenisnya, tapi matanya yang bulat seakan memantulkan cerita Breksi sendiri; tua, tajam, dan diam-diam lembut.

 

Di sudut lain terdapat foodcourt dan pergola—tempat kami duduk sejenak, memulihkan napas sambil menikmati gorengan hangat dan secangkir the hangat manis. Di bawah pergola inilah perjalanan terasa berhenti sebentar, memberi ruang untuk merenungi apa yang sudah dilihat.

 

Di tengah kompleks terdapat amfiteater Tlatar Seneng—panggung terbuka yang kerap menjadi tuan rumah bagi musik, tari, hingga pentas komunitas. Dulu palu dan pahat menggema di sini, kini suara gamelan, tawa penonton, dan tepuk tangan mengisi ruang batu purba.

Shoe footprints

 

Sebelum jadi objek wisata yang ramai didatangi orang, tempat ini hanyalah area tambang batu. Para lelaki desa bekerja dari pagi hingga senja, memecah bongkah demi bongkah. Palu dan pahat adalah musik sehari-hari, debu kapur adalah kabut yang akrab. Namun, tahun-tahun itu bergeser, penambangan berhenti. Yang tertinggal hanyalah tebing berwarna pucat, terluka oleh mata pahat, sepi dari riuh pekerja. Banyak orang mengira tanah ini akan jadi “bekas” yang dilupakan.

 

Tapi warga tak menyerah. Mereka menolak membiarkan bekas tambang ini sekadar lubang di peta. Dengan tangan kolektif, Tebing Breksi dipoles ulang, jalan ditata, relief diukir, area parkir dibuka. Perlahan-lahan, bekas luka itu justru menjadi ruang baru yang menghidupi.

 

Perubahan ini mencapai puncaknya pada 30 Mei 2015, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan kawasan tersebut sebagai destinasi wisata. Dari situlah Breksi resmi membuka diri, bukan lagi sekadar dinding batu, melainkan halaman baru bagi Yogyakarta.

Shoe footprints

  

Kata “breksi” berasal dari breccia—istilah geologi untuk batuan yang terbentuk dari pecahan-pecahan material yang dipadatkan oleh waktu. Tebing di Sambirejo ini adalah hasil letusan gunung purba berjuta tahun lalu. Lapisan demi lapisan batu adalah paragraf panjang bumi yang tak pernah kita tulis, tapi bisa kita baca.

 

Kini, para geolog menjadikannya geoheritage, warisan geologi yang penting bagi ilmu pengetahuan. Tapi bagi pejalan biasa, sepertiku dan Yunis, batu ini bukan sekadar obyek sains. Ia adalah latar yang mengingatkan bahwa manusia hanyalah tamu sebentar. Bayangkan tebing yang kita injak sudah ada sejak jutaan tahun sebelum kita, dan akan tetap berdiri lama setelah kita pulang. Kalian bisa membayangkan, bahkan aku yang kecil ini bisa menapak di batu yang besar oleh pengetahuan.

 

lanskap tebing breksi
Lanskap batu purba Tebing Breksi yang memikat.

Keindahan Breksi tak hanya datang dari geologinya, tetapi juga seni yang hidup di dalamnya. Bekas pahatan tambang dilanjutkan dengan ukiran baru—wayang, flora, naga besar, bahkan motif-motif modern. Bagi fotografer, dinding ini adalah studio alam; bagi seniman, ia kanvas raksasa yang tak pernah selesai. Saat senja turun, cahaya jingga menyapu relief. Bayangan ukiran memanjang, seolah tokoh wayang itu hidup dan berjalan perlahan di atas dinding waktu.

 

Di Breksi, transformasi sosial begitu terasa. Para penambang beralih menjadi pemandu wisata, pedagang, penyewa jeep, atau pengelola parkir. Anak-anak muda menjadi fotografer lokal, prewedding atau konten kreator. Ibu-ibu membuka warung sederhana dengan menu khas seperti bakmi Jawa, tempe bacem, dan kopi tubruk.

 

Seorang bapak yang kami temui di warung wedang berkata sambil tersenyum, “Dulu kami gali batu untuk dijual. Sekarang kami jaga batu agar orang datang lagi.” Kata-katanya melekat lama. Itulah kearifan—menafsir ulang nasib, mengubah beban menjadi berkah. Pengelolaan dilakukan oleh komunitas lokal dan BUMDes, sehingga perputaran ekonomi kembali ke warga.

 

Setiap akhir pekan, ratusan hingga ribuan pengunjung datang. Efek gandanya terasa, ojek desa hidup, rumah warga jadi homestay, pesanan souvenir meningkat. Breksi bukan hanya objek wisata, tetapi ruang penghidupan.

Shoe footprints

 

Sore merayap pelan, matahari mulai miring meski sedikit dibayangi mendung. Dari puncak tebing, horizon membuka diri. Prambanan tampak jauh seperti siluet dongeng, sementara Merapi berdiri dengan gagah, diam seperti penjaga waktu.

 

Breksi tak lagi hanya destinasi siang, tapi juga galeri malam. Karena ketika matahari tenggelam, lampu-lampu kecil dinyalakan. Dinding batu berubah jadi tirai cahaya. Warna putih, kuning, dan jingga menari bersama gelap. Suara musik mengalun perlahan dari pengeras, bercampur tawa pengunjung yang sibuk berfoto atau duduk-duduk sambil menyeruput kopi hangat. Udara dingin pun turun perlahan, membawa pesan wajah baru Jogja yang modern tapi tetap dekat dengan desa.

 

panorama tebing breksi
Panorama yang tenang dan cerita yang panjang, begitulah Breksi memeluk pengunjungnya.

Berdiri di Tebing Breksi adalah cara paling lembut untuk mengingat bahwa waktu jauh lebih besar dari kita. Batu ini saksi jutaan tahun. Kita hanya mampir sebentar. Maka sebentar itu sebaiknya kita isi dengan menghargai, menjaga, dan memberi makna.

 

Yunis berdiri, menepuk pelan punggungku dan berbisik, “Perjalanan bukan hanya soal keindahan. Ia soal makna sosial, budaya, dan bagaimana manusia menafsir hidup lewat tempat-tempat seperti ini.” Aku mengangguk dalam diam, setia pada langkah berikutnya.[yk]

 


 

“Di antara fosil geologi dan jejak sepatu,

kini ada rezeki, seni, tawa pedagang dan pengunjung.”

—Sepatualang—

 

 



PS : sila menulis komentar, membagikan, atau meninggalkan alamat web/blog-nya untuk bertukar sapa dan saling mengunjungi. Terima kasih sudah mampir ^_^


0 comments:

Post a Comment