Pesona Unik De Locomotief Sungailiat_ Edisi Olwen

de locomotief sungailiat
Olwen dan lokomotif peninggalan Belanda di De Locomotief, Sungailiat Bangka.


  

 

 

“Ada satu hal yang harus dimiliki:

apakah jiwa yang ceria karena alam, 

atau jiwa yang ceria karena seni atau pengetahuan?”

—Friedrich Nietzsche—

 

 

 

 

Ketika tiba di De Locomotif, suasana terasa lengang dan sunyi. Dua orang lelaki yang sepertinya penunggu atau penjaga, nampak dudukduduk sambil ngobrol di area parkiran mobil antik. Mereka serempak menoleh ke arah kami yang celingukan di pos tiket masuk lokasi. Satu dari mereka berkata dengan cukup kencang, “Maaf kami tutup sementara.” Namun, lelaki yang satunya beranjak mendekati kami. “Kalau mau ke area pantai, silakan. Tapi, fasilitas lain seperti galeri, museum, perpustakaan, toko souvenir dan lainnya tutup.” Tawarnya ramah. Lagilagi. Ini adalah tempat kesekian yang kami singgahi dan tutup akibat terimbas pandemi, meski saat ini pariwisata sudah dilonggarkan tapi keadaan masih di bawah normal. Dengan cepat Yunis mengangguk sembari bertanya untuk meyakinkan, “Boleh ya kami masuk?” Lelaki penjaga itu mengiyakan, lalu mengeluarkan kertas tiket. “Tiketnya Rp.10.000,- rupiah perorang Mbak.”

*

 

Pos tiket masuk diapit dua bangunan memanjang ke belakang yang terbuat dari kayu bernuansa etnik. Kami melewati jalan bercat biru lebar dan semakin lebar ke belakang, disusun dari paving block berjenis bata. Bangunan sebelah kiri dibatasi oleh pagar kayu berlabel “Art Bazzar & Library”. Aneka bentuk patung berderet. Mulai dari ragam satwa hingga bentuk pewayangan, dan pada bagian akhir bangunan sebelah kiri nampak kumpulan patung satwa dengan label “Taman Satwa”. Bangunan selanjutnya adalah Museum Garuda, toko buku serta cinderamata. Menuju arah pantai terdapat display Terracotta Army yang dikelilingi oleh pagar kayu pula. Kemudian area event outdoor dan pantai lepas. Sementara, bangunan sebelah kanan yang bernuansa etnik juga, dimulai dengan tempat Reflexology & Photobooth, Fashion Artware, Taman Bulakan, Beach Bar, kafe, restoran, dan fasilitas penunjang lainnya seperti toilet dan mushola.

 


de locomotief sungailiat
Dok pribadi - Suasana De Locomotief suatu hari di bulan Juni 2022.

Di sepanjang jalan bercat biru, payungpayung serupa payung Geulis khas Tasikmalaya bergelantungan. Menjadi ornamen lelangit yang menaungi bersama kabelkabel lampu hias mungil yang berseliweran. Belasan, mungkin puluhan payung dengan warna dan corak berbeda. Satu yang terbesar, disematkan di pinggir bangunan dekat Beach Bar bersama dengan papan tak kalah besar bertuliskan ringkasan perkembangan sejarah Marga Tionghoa di Indonesia. Pada akhir jalan bercat biru, memuarakan pada sebuah lokomotif tua peninggalan zaman Belanda bertuliskan “De Locomotief”. Jadi bisa disimpulkan, bahwa penamaan tempat tersebut terinspirasi dari objek lokomotif yang berada di area itu dan menjadi sentralnya.

 

Sebetulnya Yunis agak bingung dengan konsep yang ingin diusung oleh De Locomotif. Begitu campur aduk, seperti gadogado. Tampilan masa lampau sebagai pemeran utama ditabrakkan dengan penyuguhan gaya kekinian yang tidak terlalu matching, namun mendominasi. Menimbulkan rasa gasal dan tidak pada tempatnya. Seandainya hanya menampilkan masa lampau dalam kemasan masa lampau, tentu akan jauh lebih memikat. Pengunjung akan diajak seperti berjalan dalam lorong waktu. Namun, seperti yang pernah Yunis tulis, bahwa pengalaman empiris itu subjektif. Karenanya, kebijakan pembaca dalam memaknai sangat diperlukan.

 


de locomotief sungailiat
Dok pribadi - Galeri, museum, dan perpustakaan Garuda; fasilitas yang ditawarkan De Locomotief, Sungailiat Bangka.

Di luar pada itu, apa pun tema dan konsep yang diusung De Locomotief sesungguhnya digarap dengan sangat serius. Mengapa demikian? Sebelum menulis ini, Yunis sempat mengunjungi laman resmi De Locomotief. Dikatakan bahwa penggarapan visualnya dikerjakan oleh senimanseniman rupa yang khusus diterbangkan dari Jogjakarta. Ada upaya menawarkan konsep baru dari sekadar jalanjalan ke pantai, bermain pasir dan air. Pengunjung diberikan wawasan tentang seni tinggi, seni adiluhung, seni yang membuat alis bertaut dan kening berkerut. High artLow Art, konsep nilai barat dalam seni rupa yang menjadi kiblat seni rupa Indonesia—anda bisa mencari tahu lebih dalam dengan meng-googling-nya. Namun, sejatinya seni, ia tetap bisa dinikmati dalam kapasitas apa pun. Karena seni tidak melulu menghibur, seni bisa jadi katarsis dan hadir sebagai salah satu bukti peradaban manusia.

 

Kota Jogjakarta memang digadanggadang sebagai pusat seni rupa Indonesia. Tidak berlebihan, karena di kota inilah seniman (artist) seni rupa lebih banyak dilahirkan dan menjadi master. Terlebih dukungan institusi pendidikan yang juga mumpuni, meski banyak pula seniman otodidak. Bukan sekadar senimannya, para kolektor seni yang rela menggelontorkan uang puluhan hingga ratusan juta demi sebuah karya seni dan galeri seni bertebaran pula di kota ini. Maka, tak heran jika De Locomotief mempercayakan penggarapan seni visualnya pada senimanseniman dari Kota Gudeg ini.

 


de locomotief sungailiat
Dok pribadi - De Locomotief yang menyatu dengan pantai Tongaci.  


Dalam urusan seni, Yunis memang menaruh perhatian dalam porsi besar. Maka tak heran, ia agak menyesal tak bisa masuk ke area galeri dan museum. Dalam benaknya ia berharap dapat mengenali beberapa karya seni sebagai hasil karya beberapa artist yang ia kenal. Termasuk pengerjaan patungpatung Terracotta Army. Terlintas satu dua nama yang bisa dibilang selebritisnya dunia seni rupa, pernah memamerkan karya serupa Terracotta Army. Sayangnya hal tersebut tak bisa terkonfirmasi.

 

de locomotief sungailiat
Dok pribadi - Terracotta Army, salah satu "karya seni" yang dipamerkan di De Locomotief Sungailiat, Bangka.


Jika anda penggemar film, tentu anda tahu cerita tentang prajurit Terracotta, karena seringkali menjadi tema besar dalam filmfilm, diantaranya dalam film “The Mummy: Tomb Of The Dragon Emperor” yang dibintangi oleh Brendan Fraser dan Jeet Li. Ribuan patung prajurit Terracotta dan kuda perang yang ditemukan di sekitar makam Kaisar pertama Cina bernama Qin Shi Huang, dengan kekuatan ilmu hitam coba dibangkitkan kembali, dan tentu saja pada akhirnya gagal.

*

 


de locomotief sungailiat
Dok pribadi - penangkaran penyu yang kini sedikit terbengkalai dan memerlukan perhatian.

De Locomotif sendiri masuk dalam kawasan pantai Tongaci. Berada di jalan Laut, Kampung Pasir, Sungailiat, Kabupaten Bangka. Sekitar 3 km dari jalan Raya Sungailiat-Belinyu menuju kawasan wisata Matras. Pantai ini merupakan marina dan kawasan rekreasi serta penangkaran penyu. Kabarnya sebelum pukulan pandemi terdapat ratusan penyu dengan jenis penyu hijau dan penyu sisik beragam ukuran yang dibesarkan di sebuah kolam besar di tepi pantai dan sejumlah tambak terapung. Sayangnya, sewaktu kami ke sana, keadaan jauh berbeda. Pengkaran penyu hampir tidak terawat sama sekali, airnya butek kehijauan. Botol minuman kemasan terampung diantara penyupenyu yang sesekali berenang berpindah posisi. Tidak ada yang bisa disalahkan dari keadaan menyedihkan ini. Yang menjadi sedikit penawar adalah bahwa kini ada harapan baru dengan dibukanya kembali pariwisata. Semoga keadaan bisa cepat pulih seperti sedia kala, dan penyupenyu bisa berenang di air yang lebih sehat lagi.

 


de locomotief sungailiat
Dok pribadi - pelangi membusur di laut jauh pantai Tongaci, Sungailiat Bangka.

Dari jauh laut, pelangi membusurkan warnawarni indahnya. Meski pucat, kemunculannya menggenapkan harapan; besok pasti lebih baik.yk[]

 

 


 

yunis kartika
Foto by Bro Tony - Yunis Kartika di De Locomotief Sungailiat, Bangka.

 

 

“Cinta akan keindahan adalah rasa. Penciptaan keindahan adalah seni.”

—Raplh Waldo Emerson—

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PS : sila menulis komentar, membagikan atau meninggalkan alamat web/blog-nya untuk bertukar sapa dan saling mengunjungi.

0 comments:

Post a Comment

“Tung Tau” Ngopi Klasik di Pulau Bangka_ Edisi Penikmat Kopi

tung tau kopi bangka
Sepatusepatuyunis ngopi santai di Tung Tau Sungailiat, Bangka.

 

  

 

“Kopi adalah sebuah bahasa tersendiri.”

—Jackie Chan—

 

 

 

 

Kalau anda suka membaca tulisantulisan saya di blog atau pun di mediamedia lain, mungkin (ini baru mungkin dan saya pede aja LOL) anda bertanyatanya kenapa saya jarang sekali—hampir tidak pernah—menulis makanan khas atau kuliner suatu daerah secara mendalam, kecuali sempalan dan menjadi pelengkap saja dalam tulisan. Jawabannya, pertama mengulas citarasa makanan beserta bahanbahannya bukan keahlian dan minat saya. Kedua, karena sejujurnya saya tidak khusus berburu kuliner ketika melakukan perjalanan alias saya tidak terlalu hobi makan. Xoxoxo… namun berbeda dengan kopi-ngopi.

 

Jauh sebelum “ngopi ngafe—ngafe ngopi” ngehits dan booming beberapa tahun terakhir, saya sudah doyan ngopi. Hitam, kental, tanpa gula, dan ditubruk. Adalah ayah yang menularkan kegemaran ngopi hitamnya pada saya. Lantas sekeluarga saya pun jadi doyan ngopi, termasuk mama. Meski mama, kedua kakak lelaki saya almarhum dan adik kembar saya yang satu lebih menyukai kopi susu. Sementara ayah, saya dan adik kembar yang satunya lagi sepakat pada kopi hitam. Bahkan adik bungsu kembar saya menulis novel tentang kopi yang berjudul “Babad Kopi Parahyangan”, anda bisa mencarinya di tokotoko buku mainstream a.k.a mayor

 

Mendedah tentang kopi bukanlah perkara sederhana. Sebab berbicara kopi paling tidak akan bersinggungan dengan histori, geografi, serta sosial budaya. Kompleks memang. Kopi yang anda nikmati setiap hari, tidak ujugujug hadir melengkapi aktivitas harian anda. Misalnya, anda menyukai jenis kopi biji arabika Gayo dari Aceh dengan natural proses, medium roasting, digiling secara manual, dan ketika menyeduhnya anda senang menggunakan air panas yang baru dididihkan.

 

Dari serangkaian tindakan yang anda lakukan demi mendapatkan secangkir kopi, ada serangkaian kisah yang bisa disingkap. Pertama, jenis arabika hanya tumbuh dengan baik pada ketinggian 1000-1500 mdpl (meter di atas permukaan laut)—secara geografi adalah wilayah pegunungan/dataran tinggi. Kedua, kopi arabika Gayo merupakan jenis biji kopi yang berasal dari daratan tinggi Gayo, Aceh Tengah—secara histori adanya perkebunan kopi di Tanah Gayo merupakan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda tentang pembukaan dan perluasan lahan perkebunan di Aceh (untuk lengkapnya anda bisa membaca buku/artikel referensi sejarah tentang kopi Gayo). Ketiga, natural proses adalah proses pengeringan langsung di bawah sinar matahari setelah ceri kopi dipetik lalu ditebar di atas alas, dibolakbalik manual dan proses pengeringannya memerlukan waktu lama—secara sosial budaya teknik tertua ini memengaruhi kehidupan petani kopi dan aktivitas hariannya, dan sebagainya, dan sebagainya… panjang kan? Semua hal tersebut adalah wawasan yang mau tidak mau memengaruhi cara anda memperlakukan kopi, membuatnya menjadi secangkir minuman, serta menikmatinya.

*

 

tung tau kopi bangka
Dok pribadi - suasana dalam warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka.


Tiba di warung Tung Tau, suasana sore di warung terbilang sepi. Mejakursi ngopi—baik yang di luar maupun di dalam—tidak terisi pengunjung sama sekali. Dengan suasana tersebut, saya, Icky dan Bro Tony lebih leluasa memilih tempat duduk. Lantas kami bertiga memilih tempat di pojok dengan latar dinding berlapis kayu bercat coklat yang bertuliskan “Tung Tau; Sejak 1938”, berwarna merah dan putih. Sementara ruangan dalam memiliki interior zaman doeloe, dengan figura fotofoto penggalian tambang timah, suasana Sungailiat, serta bangunan lama bernada monokrom hitam putih kekuningan, serta pudar dimakan waktu.

 

Pramusaji tersenyum ramah pada kami seraya menyodorkan lembaran menu. Saya tenggelam membaca dengan serius deretan tulisan menu yang tertera. Menu andalan kopi-O-nya menarik, sayang, lambung saya gencatan senjata dengan robusta. Jika memaksakan, maka seharian akan saya habiskan dengan terlentang di atas tempat tidur. Jika robusta ditambah susu, lambung saya masih bisa kompromi. Jadilah, kopi susu dingin dan roti bakar. Tidak memerlukan waktu lama pesanan pun datang. Porsi rotinya tidak terlalu besar, namun cukup mengeyangkan bersama guyuran kopi susu dingin di tenggorokan. Yummyyy!!

 

tung tau kopi bangka
Dok pribadi - kopi susu dan roti menu andalan Tung Tau Sungailiat, Bangka.


Sebagai salah satu warung kopi tertua di Bangka, tentu saja kisah sejarah dibaliknya tak bisa dinafikan. Berdiri sejak tahun 1938, warung Tung Tau merupakan warung kopi legenda dan menjadikannya salah satu yang tertua di Bangka. Dengan menu utama kopi-O (kopi hitam) dan roti panggang tradisional. Warung kopi yang sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda ini dikelola dengan tetap mempertahankan resep tradisional, disertai penambahanpenambahan menu yang disesuaikan menurut perkembangan zaman yang sejalan dengan slogannya, yaitu “Setia Menjaga Cita Rasa Khas Tung Tau”.

 

tung tau kopi bangka
Dok pribadi - pilihan aneka menu di warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka.

Rahasia kelezatan roti panggang Tung Tau dan selainya, karena dibuat sendiri dengan resep dan cara yang sama selama puluhan tahun dengan menggunakan bahanbahan alami tanpa pengawet. Kopi Tung Tau menggunakan 100% biji kopi asli, dengan jenis kopi robusta. Diolah secara tradisional yang diteruskan dan tetap dipertahankan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Sehingga memiliki cita rasa yang khas dibandingkan dengan kopi lainnya.

 

Penamaan warung kopi Tung Tau diambil dari nama penggagasnya langsung, yaitu Mr. Fung Tung Tau. Tahun 1950 pengelolaannya dilanjutkan generasi kedua, yaitu Budjang Bunaan, kemudian diteruskan istrinya yang bernama Maria Matali pada tahun 1980an. Kini, pengelolaan Tung Tau dilanjutkan oleh generasi ketiga Tedy SE yang dimulai sejak tahun 2010.

 

tung tau kopi bangka
Dok pribadi - dokumentasi yang dipajang di warung kopi Tung Tau Sungailiat, Bangka.


Meski penamaannya diambil dari nama penggagas/pendiri, namun kata “Tung Tau” sendiri memiliki makna “Jalan Timur”, dikarenakan jalan di depan warung yang menuju ke arah timur mengacu kondisi lalu lintas zaman kolonial. Warung Tung Tau pertama berdiri dan sampai sekarang masih menempati lokasi yang sama, yaitu di Jl. Muhidin, Sungailiat, Bangka. Pengembangannya terbilang cukup pesat, hingga saat ini warung Tung Tau telah memiliki 7 cabang yang tersebar di Pulau Bangka, dan menjadi salah satu tujuan wisata kuliner utama di pulau Bangka.

*sumber informasi didapat langsung dari warung Tung Tau cabang induk Jl. Muhidin.

 

Pulau Bangka Belitung yang didominasi dataran rendah, jelas tidak memungkinkan untuk menanam biji kopi jenis arabika. Kawasan gunung tertinggi yang bernama Gunung Maras dan bukit Idat hanya memiliki ketinggian di bawah 1000 meter di atas permukaan laut. Jenis kopi yang bisa dibudidayakan adalah robusta. Untuk kopi jenis arabika biasanya didatangkan khusus dari beberapa daerah penghasil kopi arabika, misalnya dari pulau Sumatera dan pulau Jawa. Ini mengapa warung Tung Tau menggunakan jenis kopi robusta.

 

Apa sih perbedaan arabika dan robusta? Singkatnya, rasa pada jenisjenis kopi dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya. Arabika cenderung lebih ramah lambung, karena rasanya yang lebih soft, rendah kafein, beraroma (terkadang wangi buah/bunga) dengan varian rasa after taste yang beragam. Sementara robusta, lebih strong, pekat, hitam, pahit, tinggi kafein, dengan varian rasa after taste yang terbatas. Selain arabika dan robusta, sebenarnya ada dua jenis kopi lagi yang beredar di pasaran, yaitu jenis liberika dan excelsa, namun peredarannya dalam jumlah terbatas.

 

Keberadaan warung kopi Tung Tau yang berdiri puluhan tahun, telah menjadi “bahasa pergaulan” bagi masyarakat sekitar juga bagi pendatang dan wisatawan. Ia adalah saksi sejarah, aset daerah, dan tempat berinteraksi lintas budaya. Semoga warung kopi Tung Tau tetap berjaya untuk waktu yang sangat lama.yk[]   

 


Untuk Nurhadi 'Badu' Irawan almarhum (satu dari empat pendiri brand kopi Sangrai Wangi), seorang sahabat sesama penikmat kopi yang berpulang, ketika dalam proses menulis artikel ini. RIP Brother.

 


 


yunis kartika
Foto by Bro Tony - Yunis Kartika dan Icky di Tung Tau Sungailiat, Bangka.


 

“Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya,

karena dihadapan kopi kita semua sama.”

—Dewi Lestari—

 

 






 

PS : sila menulis komentar, membagikan atau meninggalkan alamat web/blog-nya untuk bertukar sapa dan saling mengunjungi.

0 comments:

Post a Comment